23 Feb 2004 @ 5:52 PM 

Pernahkah membayangkan punya keluarga dengan 12 anak? Mungkin di masa lalu hal ini bukanlah hal yang aneh… tapi bagaimana bila itu terjadi di jaman modern seperti sekarang ini? Bayangkan betapa repot dan ramainya suasana dalam rumah! Inilah yang digambarkan dalam film yang baru beredar di bioskop, Cheaper By The Dozen. Dalam film ini digambarkan seorang pelatih football di kota kecil, Midland, melewati hari-harinya dengan 12 orang anak. Sang istri adalah ibu rumah tangga yang berusaha menerbitkan buku yang ditulisnya. Mereka melewati hari-harinya dengan kehidupan yang berkecukupan, tapi dengan berhemat. Hingga suatu hari mereka mendapatkan yang bisa disebut keberuntungan, sang ayah mendapatkan tawaran melatih di sebuah klub ternama di Chicago.

Awal mulanya mereka memutuskan untuk pindah ke Chicago, walaupun ditentang oleh sebagian besar anak-anak mereka, dengan alasan dengan pekerjaan baru ini, keluarga bisa mendapatkan kebutuhan mereka lebih cukup. Pada saat mereka baru pindah… tahu-tahu sang ibu mendapatkan panggilan dari agency bahwa buku yang ditulisnya mendapatkan kesempatan untuk diterbitkan dengan catatan sang ibu harus melakukan tur keliling. Maka timbullah polemik karena sang ayah harus menangani semua urusan rumah tangga dan melatih. Usaha untuk memanggil pengasuh pun tidak berhasil, karena tidak seorangpun yang bersedia mengasuh 12 orang dalam 1 rumah. Sampai akhirnya masalah keluarga ini tidak tertolong lagi, keluarga yang awalnya sangat rukun berubah menjadi keluarga yang penuh konflik. Sang ayah harus memilih antara mengurus keluarga atau berkonsentrasi penuh melatih timnya (dimana melatih tim ini merupakan impiannya sejak dulu), sang ibu harus memilih antara keluarga ataukah mementingkan penerbitan buku (dimana ini merupakan buku pertamanya), anak-anak harus memutuskan apakah mereka akan tetap saling tidak peduli dan saling menyalahkan ataukah mulai belajar untuk mengurus diri mereka sendiri. Tapi lewat peristiwa ini, akhirnya mereka mendapatkan satu pelajaran bahwa dalam 1 keluarga mereka harus saling mendukung satu sama lain dan saling mempercayai di antara mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari (selain dalam keluarga, misalnya dalam komunitas tempat kita berkarya sampai perusahaan tempat kita bekerja), kita seringkali dihadapkan pada persoalan yang kurang lebih sama dengan keluarga besar itu. Entah itu problem yang dihadapi sang orang tua (egois dan memaksakan keinginannya) atau problem yang dihadapi anak-anak (tidak peduli dengan saudaranya, tidak berusaha mandiri). Dalam komunitas dan pekerjaan, seringkali terjadi pergesekan, entah karena ambisi pribadi, rasa iri hati, persaingan tidak sehat, anti-kritik, dan sebagainya. Padahal, komunitas atau perusahaan bagaikan satu keluarga dengan banyak anak… yang tentunya bisa berkembang bila “keluarga besar” ini saling bahu-membahu, saling mendukung, saling peduli, saling menyayangi. Bila anggota keluarga saja sudah saling menjatuhkan, bagaimana keluarga itu bisa bertahan? Bagaikan rumah yang pondasi kurang kokoh atau ada yang sudah patah/keropos; maka begitu ada badai atau hujan lebat, rumah itu langsung kebanjiran atau bahkan lebih parah lagi sampai roboh. Dalam sebuah keluarga tentunya tidak akan lepas dari perselisihan atau konflik, tapi dengan adanya rasa saling memiliki, saling menyayangi, saling peduli, dan yang terutama saling memaafkan; semua itu bisa dilalui dengan kepala dingin… kritik bisa disampaikan dengan tujuan positif dan diterima dengan keinginan untuk menjadi lebih baik; persaingan bisa dilakukan dengan tujuan untuk membesarkan komunitas atau perusahaan, bukan untuk ketenaran pribadi semata.

Minggu depan, gereja memasuki masa pra-paskah, masa dimana kita diajak untuk berpantang dan berpuasa, mengikuti teladan Yesus, menahan hawa nafsu dan kelemahan daging. Tujuannya tak lain agar kita bisa semakin rendah hati dalam hidup dan semakin bijaksana dalam bertindak. Itulah makna pantang dan puasa yang diinginkan Yesus… bukan agar kita terlihat suci di mata dunia, melainkan agar kita satu sama lain bisa saling memahami, saling membangun dunia kita menjadi dunia yang lebih baik, saling memperkokoh “keluarga” kita menjadi keluarga yang harmonis dan saling mendukung dan kokoh. Sulit memang… teori memang lebih mudah daripada praktek. Tapi dengan keyakinan dan kerendahan hati, tentunya semua itu bisa terjadi. Bila itu semua bisa kita lalui, pada akhirnya kita bisa menjadi sebuah “keluarga besar” yang bahagia dan kokoh seperti yang diceritakan pada film “Cheaper By The Dozen” tersebut.

“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” — Lukas 14:11

Selamat memasuki masa Pra Paskah!

JN. Rony
Jakarta, 20040223

untuk seseorang…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.