28 Mar 2004 @ 5:56 PM 

Dalam keseharian, seringkali tanpa disadari kita menghakimi orang lain. Bisa jadi orang tersebut memang bersalah seperti yang kita tuduhkan. Namun yang seringkali adalah kita menuduh seolah kita adalah orang yang benar. Yang membuat hati semakin miris adalah, seringkali hukuman yang diperoleh orang-orang yang “bersalah” itu tidak sebanding dengan kesalahannya. Kita seringkali mendengar bandar ekstasi dihukum 3 tahun penjara… namun bagi pencuri ayam malah dapat hukuman mati akibat dipukuli massa. Sebuah potret keadilan yang masih buta terjadi di sekitar kita.

Dalam keseharian pula, kita juga seringkali menghakimi orang menurut “ukuran” dan “kacamata” kita. Apa yang kita anggap benar seolah dijadikan sebagai hukum yang berlaku, tanpa peduli apakah orang tersebut memang bersalah atau tidak. Yang penting, menurutku dia salah! Lewat pola pikir yang absolut seperti itu, kita tidak mau tahu mengapa orang tersebut berbuat demikian… kita tidak mau tahu kenapa orang tersebut berkata demikian, dsb. Penghakiman seperti ini kerap kali kita temui dalam lingkungan kita… seorang pimpinan langsung memarahi pegawainya tanpa mau tahu alasan lain, seorang ayah menghukum anaknya tanpa peduli kenapa anaknya berbuat begitu, atau bahkan seperti yang ada di iklan deterjen, seorang istri langsung marah begitu melihat nomer telepon yang ditulis dengan lisptik di baju suaminya tanpa mau tahu alasan suaminya, dan masih banyak contoh lainnya.

Ada pernyataan demikian yang pernah kudengar, dunia ini bukanlah hitam dan putih… melainkan abu-abu. Yeap, memang demikian adanya… antara benar dan salah, antara baik dan jahat… perbedaannya sangat tipis sehingga kadang perbedaannya pun tidak terlihat. Sesuatu yang baik belum tentu baik, demikian pula sesuatu yang kelihatannya tidak baik belumlah tentu demikian. Di sini aku banyak belajar bahwa sesuatu itu baik atau buruk haruslah dilihat dari banyak sisi dan dari buah-buah yang dihasilkan. Sebelum kita menilai seseorang bersalah, haruslah kita melihat juga dari sisi pandang orang tersebut. Sebelum kita menilai sesuatu itu baik, haruslah kita lihat dari buah-buah yang dihasilkan. Bahkan, sesuatu yang berbau rohani belumlah tentu baik. Ingat… setan pun bisa menyamar menjadi malaikat.

Nah, untuk itulah diperlukan sebuah refleksi dan instropeksi diri secara periodik. Dengan senantiasa ber-refleksi maka kita akan lebih arif dalam melihat 1 permasalahan, lebih adil dalam memutuskan sesuatu. Memang, hal ini tidaklah bisa terjadi begitu saja, melainkan melewati 1 proses yang sangat panjang dalam hidup. Banyak orang berkata, pengalaman adalah guru yang paling baik. Semakin banyak orang makan asam garam dunia, haruslah dapat menjadi semakin arif dan bijak, bukannya semakin meninggikan diri agar dapat menghakimi orang lain. Itulah gambaran para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang diminta Yesus untuk melemparkan batu pada wanita yang dituduh berzinah bila mereka tidak mempunyai dosa. Mereka yang seharusnya mempunyai kebijaksanaan yang lebih justru lebih senang menghakimi secara sepihak, namun saat dihadapkan pada cermin dirinya, mereka menjadi malu dimulai dari yang tertua.

Baik atau buruk, benar atau salah… bukanlah hak kita untuk menilai… itu adalah urusan vertikal kita dengan Tuhan. Yang bisa kita perbuat adalah bagaimana bertindak seadil-adilnya (menurut ukuran manusia!) tanpa mengesampingkan unsur pengampunan dan memberi kesempatan yang kedua. Bila kita hanya mau menggunakan ukuran manusia… maka ukuran itu pulalah yang akan dipakaikan pada kita kelak. Bila Tuhan saja mau memaafkan dosa kita padaNya, mengapa kita tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain yang mungkin hanya sepersekian kesalahan kita pada Tuhan? Memang manusia itu lemah dan sering kali khilaf… namun dengan penyadaran diri secara berkala, tentunya diri kita senantiasa dipacu untuk menjadi yang lebih baik, lebih bijaksana.

Paskah sudah dekat… Tuhan sudah berkorban banyak bagi pengampunan dosa-dosa kita. Potret penyiksaan dalam film Passion Of The Christ yang saat ini banyak beredar bajakannya masih bukanlah apa-apa dibandingkan dengan penyiksaan sepihak oleh manusia waktu itu. Eksploitasi darah yang ditampilkan masih tidak sebanding dengan kekejaman pikiran yang absolut dalam menuduh seseorang bersalah. Tidaklah berlebihan jika Yesus bertanya, “Hai umatKu apa salahku hingga kau menyalibkan Aku?”

Sayang… saat itu tidak ada yang berani berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama menyalibkan Orang itu.”

Reflection from John 8:1-11

JN. Rony
20040328

“Manusia pada dasarnya baik, tapi manusia bisa khilaf bukan?” — JN. Rony

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.