08 Aug 2003 @ 5:44 PM 

Seringkali terjadi perbincangan tentang betapa tidak enaknya kotbah seorang pastor, entah karena membosankan, terlalu lama, tidak jelas isinya, dan lain sebagainya… Sebagai umat, saya pun terkadang ikut dalam gosip-gosip kecil ini. Awal-awal saya mengenal Katolik, kotbah pastor pun merupakan sesi yang paling membosankan dalam sebuah misa. Secara garis besar, bagi sebagian kecil orang, misa terbagi menjadi 4 sesi, yaitu sesi segar karena datang terlambat/terburu-buru (doa pembukaan sampai bacaan Injil), lalu disusul dengan sesi ngobrol atau ngantuk ria (homili dan sampai persembahan), dilanjutkan dengan sesi tidur (doa syukur agung sampai persiapan komuni), dan diakhiri dengan sesi paling segar karena sudah bangun dan mulai memikirkan nanti mau kemana atau makan apa (komuni sampai berkat penutup, kalau masih ada di gereja πŸ™‚ Praktis, banyak kali saya tertidur saat homili, kecuali bila kotbah pastornya lucu dan menarik.

Sebenarnya seberapakah membosankan kotbah seorang pastor tersebut? Setelah sekian lama, saya bisa mengatakan bahwa itu TERGANTUNG pada diri kita masing-masing. Dalam perjalanan iman saya pribadi, seringkali saya dan beberapa teman berbeda pendapat tentang kotbah seorang imam. Bila saya mengatakan kotbah pastor A itu enak dan lucu, belum tentu di-iya-kan oleh teman saya yang lain, dan sebaliknya. Dari pengalaman juga, tidak mudah bagi seorang imam untuk berkotbah. Mungkin, ada imam yang punya kelebihan bakat untuk bercuap-cuap ria di depan umum, namun banyak juga yang demam panggung. Hal ini saya ketahui saat menginap beberapa malam di sebuah rumah studi sebuah seminari, di mana biara tersebut diperuntukkan bagi para frater yang sedang menempuh pendidikan di STF (Sekolah Teologi dan Filsafat). Setiap pagi, mereka selalu melakukan misa yang seringkali sesi homili diisi oleh seorang frater secara bergantian sesuai dengan jadwal yang mereka susun. Saat itulah masa para frater dituntut untuk belajar berkotbah sebelum mereka menjadi imam. Begitu pula kondisi di sebuah pertapaan yang ramai dikunjungi dalam rangka retret atau camping rohani. Beberapa dari suster pertapaan saya kenal memiliki cara kotbah yang lucu, tapi beberapa orang pula syaa kenal tidak mampu berkotbah dengan baik namun memiliki talenta yang kuat dalam hal doa maupun hal yang lain.

Lewat pengalaman iman, saya menyadari bahwa sebenarnya semua kotbah pastor itu enak lho! Kok bisa? Cobalah untuk menyimak! Seringkali orang menghakimi seorang pengkotbah, padahal saat misa lebih banyak ngobrol. Bila tidak percaya, coba sekali saja saat misa tidak usah memperhatikan pastor πŸ™‚ tapi perhatikan sekeliling kita… ada sepasang remaja yang asyik pegang-pegangan tangan dan cerita sambil bisik-bisik mesra, atau ada segerombolan orang yang asyik bercanda, atau ada orang tua yang sibuk menyuapi anaknya yang juga sibuk lari sana dan sini, atau ada yang alim dan sedang mandaraskan doa rosario, dan bahkan yang parah ya seperti yang saya katakan di atas, sedang TIDUR! Nah, dengan segala aktivitas tersebut (sekalipun ber-rosario!) bagaimana kita bisa menangkap apa yang hendak disampaikan oleh imam dalam kotbahnya? Memang, ada orang yang panda berkotbah, ada pula yang tidak… namun akan lebih baik bila kita mau bersikap menghargai mereka yang sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk berkotbah di depan umat. Tidak mudah lho untuk berkotbah di mimbar! Kalau tidak percaya, cobalah untuk tampil di depan umat, menjadi seorang lektor misalnya… kita bisa merasakan yang namanya grogi di mimbar gereja akibat pandangan mata satu gereja mengarah ke diri kita. Apalagi buat lektor yang kurang percaya diri atau tidak siap, akan kelihatan seperti membaca buku ketimbang firman Tuhan. Juga tidak semua kotbah pastor yang membosankan itu tidak enak, bahkan banyak kali inti sebuah kotbah yang membosankan itu punya arti yang sangat mendalam. Pernah saya mendengarkan kotbah dari seorang pastor tua, pastor bule lagi! Dari cara bicara, susah sekali untuk menangkap apa yang disampaikannya, sebab sekalipun menggunakan speaker, tetap saja tidak jelas. Begitu suasana gereja ramai sedikti saja, langsung apa yang disampaikan pastor tua ini hilang ditelan keramaian, apalagi kalau mike-nya mati. Dulu saat pastor ini masih membawakan misa mingguan, pernah kulihat dia marah besar sampai menangis karena merasa tidak di-orang-kan akibat sebagian besar umat di gereja ramai sendiri. Lalu dalam beberapa kesempatan kucoba untuk mendengarkan isi kotbah pastor ini (caranya ya duduk di depan sendiri atau di sebelah speaker :), hasilnya sungguh mengejutkan! Bagi saya pribadi, “isi otak” dari pastor tua ini sungguh brillian dan membumi. Hanya karena cara penyampaian yang tidak jelas, dia menjadi salah satu imam yang dihindari saat misa. Tapi uniknya! Saat pengakuan dosa, imam ini malah ramai di-antri oleh umat. Lho? Rupanya umat banyak yang mau menang sendiri, saat sang pastor kotbah langsung di-cap “gak enak”, “gak jelas”, dsb. tapi saat pengakuan dosa malah mencari pastor tua yang notabene pendengarannya sudah melemah dan bicaranya sudah tidak jelas, dengan harapan tidak merasa berdosa bila ada penitensi (denda dosa) yang tidak dilakukan akibat tidak terdengar πŸ™‚

Fakta memang membuktikan bahwa sedikit sekali imam yang mampu menyampaikan kotbahnya dengan kemasan yang lucu, kocak, menarik bagaikan srimulat saat tampil. Namun, masih banyak hal yang lebih penting daripada sebuah kotbah yang enak didengar, yaitu pemahaman akan inti kotbah itu sendiri. Kalau hanya untuk mendengarkan humor-humor atau lelucon-lelucon, rasanya lebih asyik bila kita nonton srimulat atau ketoprak humor ketimbang susah-susah ke gereja. Memang menyenangkan bila bisa mendengarkan seorang imam dengan kotbahnya yang lucu dan diselingi dengan tawa, namun bila memang sang imam tidak mampu berkotbah… mengapa kita tidak berusaha menyerap pengalaman iman yang disampaikan oleh imam tersebut daripada langsung menutup diri dengan segel “ach, kotbahnya gak enak!” Sesi kotbah bagaikan sebuah kelas, enak atau tidaknya guru yang di kelas tersebut menyampaikan bahan pelajaran… yang bisa merasakan gunanya hanya kita sebagai murid. Bila kita tidak menyimak, ya yang rugi juga kita, si guru sich tidak kehilangan apapun. Yang terpenting adalah dari dalam diri kita saat mengikuti misa tersebut untuk apa? Menghadiri perjamuan Tuhan? Ataukah untuk hal-hal yang lain, seperti berpacaran rohani (pacaran sopan di dalam gereja :)? Atau pindah tempat ngobrol? Ataukah pindah tempat nyuapin makan anak? Atau malah menjadikan gereja sebagai tempat “hunting” orang cakep atau yang parah, dompet (copet kali? :). Atau???

Ingat! Keselamatan tergantung pada diri kita pribadi, bukan pastor atau siapapun.

JN. Rony
20030811
yang sempat tertidur saat kotbah misa minggu πŸ™‚

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 07 Aug 2003 @ 5:41 PM 

Beberapa hari yang lalu sebuah bom telah mengguncang ibu kota Jakarta. Saat itu aku sedang beristirahat makan siang sambil mengunjungi almamaterku. Sekitar pukul 13.25 aku tiba kembali di kantorku dan melihat temanku seorang diri kerepotan dengan 2 buah telepon di telinga kanan-kirinya. Belum lagi aku sempat meletakkan barang-barangku di meja, telepon sudah berdering dan dari sana aku mengetahui bahwa JW Mariott di-bom. Praktis sesi siang itu kami sekantor dibuat tak bisa lepas dari telepon, maklum rata-rata klien kami langsung bereaksi terhadap peristiwa ini. Ada yang langsung menjual saham-sahamnya, ada pula yang memanfaatkan momen ini untuk membeli saham dengan harga murah. Hari itu, indeks saham benar-benar terpuruk dan saham-saham unggulan rontok cukup dalam.

Beberapa hari ini masa-masa sibuk itu telah lewat, market kembali normal seperti biasa, walaupun masih banyak ketakutan-ketakutan akan ancaman bom yang lain. Aku pribadi selama beberapa hari ini menerima beberapa email kesaksian-kesaksian tentang peristiwa ini ditambah lagi membaca dan menyaksikan beberapa selebritis atau tokoh masyarakat yang diwawancarai beberapa media sehubungan dengan peristiwa bom tersebut. Dari semua kesaksian yang kubaca, semuanya mengucapkan syukur tak terhingga pada Tuhan masing-masing, sebab pada mereka terselamatkan dari bom mengingat pada saat bom meledak “seharusnya” mereka pun berada di lokasi ledakan. Memang, sebuah peristiwa yang patut disyukuri. Namun, di sisi lain aku pribadi pun melihat bahwa begitu banyak orang-orang yang tidak bisa ikut bersyukur, entah itu karena mereka sudah tidak bernyawa lagi atau anggota keluarga mereka menjadi korban bom tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ini rencana Tuhan? Apakah salah bila mereka yang selamat ini bersyukur? Lalu bagaimana dengan para korban, apakah mereka tidak disayangi oleh Tuhan? Dan masih banyak lagi.

Pagi ini, aku mengelus dada saat membaca berita di Jawa Pos tentang “kelakuan” Imam Samudra yang begitu gembira akan bom Mariott ini (baca: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=1724 ). Di sana tertulis: “Alhamdulillah, saya bersyukur. Saya bahagia, terlebih lagi apabila pelakunya muslim,” teriak Samudra. Lalu di bagian lagi ditulis Samudra berteriak: “Go to hell Australians! Di mana Australia? Di mana mereka?”. Aku jadi semakin berpikir, apakah Samudra ini gila atau paranoid? Dia mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang Islam, namun apakah dia tidak berpikir bahwa korban bom ini justru mayoritas muslim? Lalu apakah dia sadar bahwa justru korban “ekspariat” asal Australia hanya 1-2 orang dan selebihnya malah mayoritas orang Indonesia? Itulah dunia nyata yang kadang sulit dimengerti…

Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang Tuhan menginginkan semua ini terjadi? Ada yang menyebut dirinya sangat beruntung dan dikasih Tuhan karena bisa terlepas dari peristiwa itu, tapi kemudian timbul pertanyaan lalu kalau begitu Tuhan tidak sayang pada korban yang meninggal atau luka? Bicara soal untung dan malang, aku jadi teringat akan seorang teman yang kebetulan memang merasa terselematkan dari musibah ini. Saat ini dia sedang mempunyai masalah dengan pekerjaannya dan sudah beberapa minggu ini dia selalu merasa tertekan dan begitu malang nasibnya. Namun, dia terselamatkan karena pada saat bom meledak dia masih berkutat dengan “masalah” dan “kemalangannya” di kantor sehingga tidak bisa segera menuju ke daerah Mariott. Atas kejadian ini, dia merasa betapa untungnya dirinya! Namun, di sisi lain… “kemalangan” tetap ada padanya, mengingat problemnya masih belum terselesaikan. Apakah ini untung… atau malang? Lalu ada pula teman yang saat ini menderita “kemalangan” karena sakit berkepanjangan sampai sekarang, tapi dalam kemalangan tersebut keluarganya yang dahulu dengan yang sekarang menjadi begitu berbeda, bila dulu sering bertengkar, sekarang menjadi lebih erat hubungannya… bahkan mama dan koko teman ini mulai ke gereja, padahal dulunya cuma sembahyangan di klenteng. Belum lagi, usaha tokonya tetap laris manis, seiiring dengan pengeluaran untuk pengobatan yang mengalir bagaikan air dari pegunungan. Apakah ini untung… atau malang?

Dari sini kita bisa belajar bahwa untung dan malang adalah urusan Tuhan. Manusia tidak bisa begitu saja menentukan untung dan malang. Kadang kita merasa untung, padahal tak lama kemudian kita langsung melupakan keberuntungan kita saat menyumpah-nyumpah kesialan kita. Begitu juga kadang kita merasa sial, padahal tak lama kemudian kita dengan mudah melupakan kesialan kita dan merasa menjadi orang paling beruntung sedunia… Biarlah segala sesuatu itu kita syukuri sebagai sebuah berkat dari Tuhan. Bukankah kita yakin bahwa Tuhan tak pernah memberikan pencobaan yang lebih berat dari yang bisa kita tanggung? Bukankah kita yakin bahwa dalam segala peristiwa Tuhan punya rencana yang indah pada waktunya?

Aku jadi teringat lagu “From a Distance” -nya Bette Midler…

From a distance the world looks blue and green,
And the snow-capped mountains white
From a distance the ocean meets the stream,
And the eagle takes to flight

From a distance, there is harmony,
And it echoes through the land
It’s the voice of hope, it’s the voice of peace,
It’s the voice of every man

From a distance we all have enough,
And no one is in need
And there are no guns, no bombs, and no disease,
No hungry mouths to feed

From a distance we are instruments
Marching in a common band
Playing songs of hope, playing songs of peace
They’re the songs of every man
God is watching us, God is watching us
God is watching us from a distance

From a distance you look like my friend,
Even though we are at war
From a distance I just cannot comprehend
what all this fighting is for

From a distance there is harmony,
And it echoes through the land
And it’s the hope of hopes, it’s the love of loves,
it’s the heart of every man

It’s the hope of hopes, it’s the love of loves
This is the song of every man
And God is watching us, God is watching us,
God is watching us from a distance
Oh, God is watching us, God is watching
God is watching us from a distance

Tuhan selalu mengawasi kita!

JN. Rony
20030807

yang baru diingatkan kalau kemarin adalah hari peringatan bom Hiroshima

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.