20 Jul 2003 @ 5:34 PM 

Perkenalanku dengan A’i (kalo gak ngerti, artinya tante πŸ™‚ satu ini bisa dibilang biasa-biasa saja. Kebetulan dia adalah ibu seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa, karena temanku ini memutuskan untuk studi di benua seberang lautan. Dimulai dari waktu temanku mudik sambil menunggu ijin kerja dan menetap turun dari kedutaan. Sepintas, si A’i ya seperti para ibu lainnya, nothing special. Dan waktu pun terus berjalan…

Lewat banyak aktivitas dan pertemuan, aku semakin mengenal lebih dalam keluarga ini. Mungkin yang kuketahui hanya seper-sekian persen, namun bagiku cukup memberiku inspirasi untuk merenungkan lebih dalam akan pengorbanan yang dilakukan seorang ibu. Lewat cerita demi cerita yang aku dapat secara sukarela (aku tidak pernah mengorek karena aku bukan termasuk orang yang mau tahu urusan orang lain :), aku tahu bahwa mama temanku adalah seorang vegetarian, bahkan boleh dibiang vegetarian sejati. Aku lupa berapa lama tepatnya dia menjadi vegetarian, tapi kira-kira sudah 20 tahun lebih. Penyebabnya kurasa tidak perlu diceritakan, sebab itu hak masing-masing pribadi bukan?

Proses menjadi seorang vegetarian kurasa tidaklah mudah. Menurut cerita-cerita dari beberapa teman yang punya pengalaman dengan keluarga yang punya anggota keluarga (terutama ibu sebagai kepala dapur) yang vegetarian, yang sering menjadi korban adalah anggota keluarga yang tidak vegetarian. Mengapa? Sebab praktis makanan yang dimasak setiap hari “agak jauh” dari bau daging. Praktis, hal ini terkesan seperti “memaksakan” vegetarianisme-nya ke anggota keluarga yang lain. Beda dengan keluarga temanku ini, si ibu tetap memasak masakan-masakan yang biasa dinikmati keluarga “omnivora” pada umumnya. Aku yakin pasti ada yang berkata dalam hati, “ach… ya kalau sudah biasa vegetarian, tentu tidak jadi masalah” πŸ™‚ Pernah juga di suatu kesempatan ada seseorang (yang bukan vegetarian tapi berkata seolah sok mengerti rasanya jadi vegetarian) berkata, “kalo mau jadi vegetarian itu harus benar-benar makan sayur-mayur, bukannya malah makan di restoran vegetarian, itu namanya menipu diri, nanti mudah tergoda.” Tapi sewaktu aku mencoba untuk merenungkan lebih jauh, susah sekali lho untuk bisa senantiasa menahan diri untuk tetap pada komitmen yang telah kita buat, apalagi ini soal “kedagingan” tubuh kita. Hal yang paling membuatku tertegun dan jadi merasa tidak enak adalah di setiap kali kami bepergian dan makan bersama, si A’i tidak ambil pusing mau makan dimana, asalkan orang-orang yang bersamanya bisa makan enak. Permintaannya pun tidak banyak, hanya bertanya kira-kira di sana (tempat makan) ada sayur-mayur gak ya? Kalau diperkirakan tidak ada, si A’i lebih banyak “membungkus” sendiri makanan pribadinya dari rumah. Jadi, di saat kami makan enak ala restoran… si A’i makan makanan “biasa ala rumah” atau kalau bisa memesan sayur yang dimasak ala vegetarian. Bahkan yang lebih membuatku tercengang adalah kerelaan si A’i untuk mengupaskan makanan daging (entah udang, kepiting, ikan, dsb.) yang keras untuk diberikan pada anaknya. Hmmm… sebuah situasi yang membuat selera makanku jadi berkurang πŸ™

Dari hari demi hari lewat pertemanan yang kulalui bersama si A’i ini membuatku merenungkan kembali kehidupan imanku sebagai seorang Katolik. Gereja selama ini tidaklah “neko-neko” (aneh-aneh) dalam menerapkan aturan pantang dan puasa. Gereja juga tidaklah mengeluarkan aturan keras untuk berpantang dan berpuasa. Tapi aku seringkali mengeluhkan “aturan” yang begitu ringan. Bila mau dibandingkan dengan puasa dan pantang yang dijalankan oleh Yesus sendiri pada saat di padang gurun selama 40 hari 40 malam lamanya, aturan Gereja saat ini sudah sangat ringan. Aku coba membayangkan selama aku menjadi Katolik dan harus melewati masa puasa-pantang selama pekan Suci, sangatlah susah. Padahal aku hanya perlu menyisihkan 1 hari saja dalam seminggu untuk berpantang daging, tapi toh berkali-kali aku sering tidak tahan godaan.

Pertemananku dengan si A’i tidak saja membuka mataku tentang artinya sebuah pengorbanan diri dalam menahan hawa nafsu kedagingan, melainkan juga sebuah bukti nyata pelayanan dan pengabdian dengan penuh kasih dari seorang ibu kepada keluarganya. Kini pertanyaan kembali ditujukan pada diriku, sanggupkah aku mencontoh si A’i dan menerapkannya pada kehidupanku? Sanggupkah aku menahan emosi bila dicemooh orang lain? Sanggupkah aku melayani sesama dengan penuh kerendahan hati? Sanggupkah…??? Begitu banyak pertanyaan dalam hatiku…

Dalam kasihNya,

JN. Rony
20030720
Thx to B, u have special mom!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.