24 Jul 2003 @ 5:36 PM 

Hari ini seorang adik tersayang pergi meninggalkan kota tercinta ini untuk meneruskan sekolahnya di benua tetangga, Australia. Persiapan keberangkata untuk meneruskan study awalnya cukup mepet, mulai dari mendaftar di sekolah tujuan, test IELTS sampai pengurusan Visa. Agaknya karena waktu yang terlalu mepet inilah, akhirnya keberangkatan yang seharusnya terjadwal minggu lalu jadi tertunda. Dan hari inilah saatnya perpisahannya dengan kami yang ada di kota tercinta ini.

Sebelum berpisah, kami beberapa kali mengadakan acara bersama, entah itu hash atau makan. Begitu pula dia, mengadakan acara kumpul-kumpul bersama teman-teman sekelasnya, entah itu menginap bersama di sebuah villa di Tretes atau jalan-jalan santai di mall. Namun, yang namanya akan berpisah tentunya perasaan kangen atau takut untuk berpisah itu selalu ada, sehingga seberapa pun seringnya bersenang-senang tapi tetap saja kurang dan perasaan sedih selalu ada.

Panasnya siang hari di kota Surabaya seolah tak dirasakan lagi saat kami bersama mengantar ke airport Juanda. Bersama pula dengan teman-teman sekelasnya dulu, terdengar tawa canda yang mewarnai suasana terminal keberangkatan domestik di Juanda. Sedianya si adik akan berangkat transit dahulu di Bali dan baru melanjutkan ke Australia malam harinya. Setelah mengurus segala sesuatunya untuk cek-in, kami sempat berfoto bersama dan bersiap untuk mengantar ke gerbang pemberangkatan. Saat itu terjadi sedikit tangis perpisahan di antara kami.Yah, sebuah suasana yang selalu ingin aku hindari (tapi tak bisa) saat mengantar seseorang ke airport. Dalam hatiku sendiri pun ingin menangis tapi tak bisa. Saat kami di gerbang pemberangkatan, sekali lagi terjadi salam perpisahan disertai dengan pengumpulan tanda tangan di selembar uang seribu rupiah sebagai kenang-kenangan untuknya. Di sela-sela salam perpisahan, terucap kalimat yang sungguh menggugah aku, “Jangan lupakan Indonesia ya!”

Ya! Kalimat ini sungguh menggugah aku. Aku sungguh kagum pada si anak yang mengatakan itu, walaupun aku tak tahu pasti siapa yang mengucapkan itu. Mungkin kalimat itu terasa biasa saja, “Jangan lupakan Indonesia”, siapapun pasti tidak akan lupa bukan? Apalagi kalau ini adalah tanah kelahirannya. Namun, aku sadar bahwa seringkali “Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan untuk diingat bagi sebagian orang. Banyak yang tidak suka lagi mengingat Indonesia setelah dia ke luar negeri. Memang, “Indonesia” punya kenangan pahit di sebagian besar (atau semua?) rakyatnya. Bagi mereka yang sempat mengalami peristiwa pahit sepanjang 6 tahun terakhir ini mungkin bisa kumaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau mungkin mereka yang notabene menyandang gelar “keturunan cina” atau yang kerapkali dipanggil “cino singkek” dan yang sering dipersulit bila mengurus akte kelahiran, ktp, dsb. juga bisa dimaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau masih banyak sekali alasan yang bisa membuat kita jadi benci “Indonesia”.

Sebagai orang Indonesia, aku bukanlah orang yang terlalu nasionalis. Aku hanya menempatkan diriku sebagai orang yang hidup, bernapas, dan menimba pengalaman di bumi Indonesia. Peristiwa manis dan pahit aku peroleh di sini. Aku sadari, aku pun benci Indonesia. Tapi apakah aku harus melupakan Indonesia? Aku tahu itu tidak mungkin. Indonesialah yang membentuk aku. Begitu banyak kenangan yang terpendam di sini. Yah, mungkin aku memang belum beruntung untuk bisa merasakan enaknya hidup di negeri orang seperti yang diceritakan oleh banyak teman. Betapa bebas dan teraturnya kehidupan di luar Indonesia. Bahkan seringkali “Indonesia” digambarkan sebagai dunia yang kacau balau dan seakan penuh dengan kebusukan. Bahkan ada yang menggambarkan “Indonesia” sebagai neraka dunia yang patut untuk ditinggalkan. Namun, entah kenapa “Indonesia” selalu mendapat tempat di hatiku.

Beberapa minggu yang lalu, aku terpesona oleh seorang teman yang mudik dari Jepang dan membawa serta calon istrinya yang orang asli Jepang. Dari cerita yang kudengar, si gadis Jepang ini menyelesaikan studynya tentang Indonesia dengan mengambil objek Bali. Praktis, dia harus menguasai bahasa Indonesia (walaupun hanya sepotong-sepotong) dan hebatnya, dia sering meluangkan waktunya ke Bali. Bayangkan, demi thesis (skripsi) dibela-belain dech traveling Jepang-Bali. Lalu, beberapa waktu yang lalu kubaca pula di koran tentang beberapa relawan asal Amerika, Inggris, Australia dan beberapa negara lainnya yang memutuskan diri untuk langsung terbang ke Bali pasca kejadian Bom Bali yang tragis itu. Alasan mereka hanya singkat, yaitu mereka punya kenangan di Bali, atau ada juga yang mengatakan Bali sudah seperti tanah kelahiran kedua baginya. Aku jadi berpikir, bila orang asing saja mengingat begitu dalam tentang “Indonesia”, lalu kenapa aku harus melupakannya? Semoga aku tak pernah lupa akan Indonesia… seperti lagu sebuah iklan rokok, “I love blue of Indonesia…”

Lambaian tangan kami semua mengiringi keberangkatan si adik menuju tangga pesawat. Aku pun berjalan menuju parkiran dengan diam seribu bahasa. Sedih? Memang… tapi kuiringi kepergian sang adik dengan doa agar berhasil di tanah seberang… dan tentunya dengan harapan: “Jangan lupakan Indonesia ya!”

Siang hari ini berjalan begitu lambat… kusetir mobil dengan kecepatan standar dalam kota sambil mengingat kenangan manis saat kami masih bersama…
Oleh seorang teman, aku dikirimi lagu: “I’m livin’ on a jet plane, don’t know when I’ll be back again. O babe, I hate to go…”

Goodbye dear sis,

JN. Rony
20030724
To Poy, wish you luck and sucsses!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.