20 Jun 2000 @ 12:20 AM 

Syalom!

Sejenak kami akan mengenang PePe dari masa ke masa dengan pelbagai kenangan milik pribadi-pribadi yang pernah atau bahkan sedang mengenyam masa-masa hidupnya di komunitas ini. Mari kita simak bersama suka-duka serta beberapa pesan dari mereka yang berhasil dihimpun oleh reporter WPP dan diulas dengan bahasa ‘campur’ sehari-hari.

Magda Nangoy“Saya selama aktif di PP ini rasanya tidak merasakan ada duka, karena saya senang sekali dengan jiwa muda-mudi yang hidup,” begitu kata ibu Magda Nangoy, salah seorang yang sangat berperan dalam sejarah PP. Mungkin tanpa campur tangannya, PP takkan sebesar sekarang. Bagi ibu ini pengalaman yang paling berkesan adalah bahwa koor PP bisa sampai masuk ke dapur rekaman dan beliau pun punya pengalaman iman yang sungguh indah selama di PP, yaitu ketika kelahiran putranya yang prematur dan mengalami kebocoran pada jantung. Bersama dengan anggota PP yang lain dan berpegang pada firman Tuhan yang mengatakan, ‘Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.’ (Mrk 11:24). “Jangan padamkan roh,” pesan beliau pada PP saat ini. “Jangan jemu-jemu melayani Tuhan karena segala jerih payahmu akan mendapat upah dari Tuhan (1 Kor 15:58) dan jangan berhenti melayani setelah menikah.” Beliau berharap agar PP dapat semakin berkembang dan tidak menutup diri terhadap lingkungan sekitarnya. Motto beliau, “Saya lakukan semuanya itu hanya untuk Tuhan.” Beliau ingin agar PP benar-benar menjadi ‘Petrus’ dan ‘Paulus’ baru, sehingga PP harus bisa menjadi berkat bagi semua orang.

Salah seorang generasi pertama, yaitu pak Alfian, juga turut berkisah. Bapak satu ini termasuk dalam daftar pemenang ‘Piala Bergilir Petrus Paulus’, karena menemukan cintanya dengan sesama anggota di PP, yaitu ibu Melany. “Banyak suka duka yang kami alami bersama. Pernah pada suatu pertemuan rutin yang hadir hanya 3 orang namun kami tetap tekun,” kenangnya. Beliau berpesan, “persekutuan doa karismatik muda-mudi ini sangat penting untuk itu jangan sampai pudar. PP dapat mengundang para senior untuk mengadakan sharing sehingga akan terjalin hubungan terus-menerus. Selain itu diharapkan kekhasan PP ini tidak hilang.”

Wati-PetrusCerita yang tak kalah menarik adalah dari ibu Wati yang saat ini telah bersanding dengan ‘mantan’ pacarnya di PP, yaitu pak Petrus. “Perkenalanku dengan karismatik berawal dari Seminar Hidup Baru Dalam Roh yang diperkenalkan oleh ibu Jane. Dari sana aku pun mengenal Joseph Gerungan (sekarang menjadi imam) dan banyak teman lain,” jelasnya. Dalam komunitas PP ini, ibu Wati dan beberapa teman yang dimotori oleh Joseph Gerungan aktif mengembangkan PD, sedangkan ibu Magda yang juga teman baiknya saat aktif di mudika paroki, memotori koor PP. Sama halnya dengan ibu Magda, pak Petrus dan ibu Wati juga begitu terkenang dengan pengalaman mereka masuk dapur rekaman. Rasa bangga bercampur bahagia tetap terbawa sampai usia perkawinan mereka yang hampir 17 tahun ini. Ibu ini berpendapat masa muda terindahnya adalah saat-saat bersama dengan PP. “Kamu yang sekarang masih belum aktif, rugi kalau nggak ikut Petrus Paulus,” begitu pesannya. Manfaat ‘didikan’ di PP, menurut beliau sangat berperan dalam rumah tangganya. Hasil berbagai seminar dan retret, menurutnya sangat bagus untuk kaum muda untuk mengalami kasih Tuhan. Hal ini nyata dari beberapa orang angkatannya yang menjadi romo dan suster, serta goyangan dalam rumah tangganya yang silih berganti tak sanggup memisahkan cinta suci mereka, berkat ‘bekal’ yang didapat dari PP. “Menimbun harta Tuhan, minum air-Nya, makan bersama-Nya, merasakan kehadiran-Nya, itulah kenangan manisku,” katanya mengenang masa lalu.

Lain lagi dengan cerita ibu muda satu ini, Ani, yang juga sempat menerima ‘Piala Bergilir’ karena bersanding dengan Alip yang juga anggota PP. Semasa kuliah, beliau sudah begitu aktif di mudika, tetapi waktu itu anti PD. Sesampai di Surabaya, beliau mulai merindukan ‘pelayanan’ yang dulu dia lakukan, tetapi bingung hendak kemana. Perkenalannya dengan PD Hati Kudus Yesus membawanya mengenal PP karena rasa enjoy yang menghinggapinya dan keinginan untuk bergabung dengan PD muda-mudi. Semasa beliau aktif, banyak sekali mendapat bimbingan dan gemblengan dari para romo, suster, dan frater baik di Malang ataupun di Ngadireso, Tumpang. Uang pun mengalir deras hanya untuk mengikuti seminar-seminar dan retret-retret. “Saya tidak pernah merasa sayang mengeluarkan biaya untuk memperoleh banyak pengetahuan,” tuturnya. Selama aktif melayani di PP, begitu banyak persoalan masa depan yang sempat ‘menghantui’nya, seperti harus pulang larut malam dan keluhan dari orang tua perihal jodohnya. Akhirnya dengan iman yang telah didewasakan selama di PP, diperolehlah jawaban dari Tuhan, dengan bersanding dengan Alip pada bulan Mei 1996. Bahkan saat ini, mereka dan beberapa pasutri mantan PP lainnya bersama-sama melayani Tuhan di PD Keluarga Muda Maria-Yosef. “Proficiat atas ulang tahun PP yang ke-20. Kami bangga dan bersyukur kemauan dan tekad para penerus kami untuk menghasilkan buah-buah rohani lebih banyak lagi melalui PD PP ini. Teruslah berjuang dan berdoa Tuhan memberkatimu” pesannya.

Ibu muda ini punya motivasi yang menarik saat bergabung di PP. “Aku masuk PD PP tahun 1989 dengan motivasi melepaskan diri dari rutinitas kampus yang melelahkan,” kata Linda. Rasa enak yang dirasakan saat semua kepenatan setelah kuliah, membuatnya begitu rindu menunggu hari Kamis tiba, untuk dapat pergi ke PD. Hal yang indah diungkapkan pula oleh adik dari ibu Linda ini, Ervin yang juga merupakan pasangan peraih ‘Piala Bergilir’ yang ke-15 bersama dengan William, suaminya. Mereka merasakan benar bahwa kebutuhan rohani mereka terpenuhi saat PD. Mereka juga menyadari bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di PP dapat membuat mereka menjadi lebih menghargai pendapat tiap pribadi. Katanya, “Bagaikan bejana yang dibentuk-Nya, masing-masing kita boleh merasa sakit, duka untuk masuk dalam rencana-Nya yang indah.”

Dari ibu kota, Jakarta, seorang keluarga PP turut menyumbang kenangannya. Yashinta Kasih, atau lebih dikenal dengan panggilan Shinta, turut mengenyam pahit-manis hidup di komunitas PP. “Ia adalah Penjunan dan aku tanah liat,” katanya perihal peristiwa sedih yang dialaminya selama ini di PP, bahwa semua itu adalah proses pembentukan diri oleh Tuhan. Selain itu, rasa senang didapatnya dari banyaknya saudara dan selalu tersedianya tempat sharing maupun saling mendukung dan mendoakan. Memang, itulah gunanya sebuah komunitas. Dengan ‘fasilitas’ yang didapat itulah, Shinta mengaku “Bisa merasakan cinta Tuhan sekaligus melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Tuhan itu KASIH.”

Lucia PuspitaSeorang mantan PP yang baru saja mengakhiri masa lajangnya turut angkat bicara. Ibu muda yang badannya kecil dan suka tertawa ini bertutur, “Sebelum bergabung di PDPP, saya adalah orang yang pendiam dan minder.” Nah lho! Kok bisa? Ternyata menurut ibu yang benar-benar periang (saat) ini berkat kemurahan Tuhan yang diberikan padanya semasa aktif sebagai tim di PP. Baginya, ternyata menjadi seorang tim itu tidak mudah, karena tim adalah sebuah cermin atau panutan untuk umat. Jadi, menurut ibu yang punya nama Lucia Puspitawati atau yang lebih dikenal dengan nama beken Lupus ini berpesan, “Untuk adik-adik yang sekarang menjadi anggota inti, bersatulah untuk mewujudkan apa yang menjadi visi dan misa PD. Dan jangan lupa, selalu mintalah petunjuk kepada Tuhan. OK!”

Dari umat, bisa dikatakan mempunyai pendapat yang hampir sama dengan para senior, yaitu “Banyak sukanya daripada dukanya,” seperti yang dituturkan oleh Ira dan Novi. Mereka ini berpendapat bahwa dengan ikut PP dapat membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan dan banyak hal yang sebelumnya belum tahu jadi mereka ketahui dan juga banyak mendapat teman. Hingga saat ini, mereka hanya mempunyai duka perihal tempat pertemuan yang jauh dari rumah mereka.

Frans TedjakusumaLain ceritanya dengan umat yang saat ini cukup aktif. Pemuda yang bertubuh cukup kurus ini menuturkan bahwa pada awal mulanya dia kurang tertarik di PP dikarenakan saat itu belum banyak yang kenal. Frans, begitu namanya, menyambung “Tapi setelah dari Tumpang, saya kembali datang ke PP karena memang banyak teman dan mulai saat itulah saya mulai jatuh cinta sama PP, karena dari sini saya mengenal Tuhan secara lebih dalam.” Frans ini berpendapat bahwa ‘penghuni’ PP cukup unik, karena wataknya yang benar-benar beragam. Walaupun dia mengaku hanya senang jadi penonton saat terjadi perselisihan di PP, ternyata kadang-kadang juga merasa gemes juga, karena masalah sepele sampai dibuat rame. Tapi dia juga mengatakan bahwa perselisihan itu kebanyakan tidak sampai masuk ke hati dan dia mengacungi jempol untuk dedikasi ‘anak-anak’ PP dalam kerja keras. Bisa dilihat dalam semangat ‘kuberikan yang terbaik buat Tuhan’ dalam persiapan acara ultah ini. Ada satu kegiatan yang disukai oleh designer cover buku ini, yaitu makan bareng setelah PD, doa tim, koor, dll. Memang, acara makan ini termasuk salah satu warisan dari para pendahulu dan Frans ini beralasan, “kebetulan saya kurus, jadi perlu makan banyak.” Acara-acara lain yang juga disukai di PP, seperti jalan-jalan, nonton, renang, badminton, dll. Di HUT PP ke-20 ini, dia berharap, “PP semakin dewasa dan semakin bertumbuh dalam iman dan pelayanan.”

Etna-EkoPada kisah terakhir, kami angkat cerita sepasang ‘manusia’ PP yang kami rasa sudah tidak asing lagi. Selain terkenal dengan tingkah polahnya yang unik tapi menarik, ternyata bapak yang usia perkawinannya belum genap setahun ini adalah termasuk salah satu peninggalan sejarah yang berharga di PP. Bayangkan saja, 7 tahun dia melayani di tim PP! Selama itu pula, berbagai jenis manusia (katanya) telah dia temui, mulai dari yang menyebalkan sampai yang menyenangkan, termasuk dari para imam, biarawan/wati, aktivis organisasi katolik, sampai mereka yang cuma pasif saja dalam Gereja Katolik, seperti ada istilah NaPas Katolik; Natal-Paskah (saja) Katolik. Dalam perjalanannya, dia dipertemukan dengan seorang wanita bernama Etna, yang akhirnya bersepakat untuk menikah pada tahun 1999. Mereka berpendapat bahwa dalam pelayanan, mereka memikul tanggung jawab yang besar, baik kepada sesama ataupun Gereja. Soal tidak enaknya, mereka juga mengalami beberapa kali. “Tapi itulah dinamika hidup di PP,” begitu sambung mereka. Dari sana mereka belajar untuk toleran, sabar, dan menjadi ‘tempat sampah’ – tempat semburan panas – dari teman satu pelayanan. Bagi sepasang pengantin baru ini yang mengaku bertemu di PP, aktif bersama-sama di PP, dan pacaran di PP ini, kalau kita mau benar-benar aktif di PP, waktu 7 hari seminggu itu kurang (Ha?). “Karena sering bertemu, maka kami jadi saling mengetahui sifat baik dan buruk satu sama lain, pandangan satu sama lain terhadap satu permasalahan, cara berpikir, sampai cara bergurau (yang kata beberapa orang cukup ‘mengerikan’),” ungkap mereka. Apa manfaatnya? Kata bapak yang semakin hari tampak semakin ‘subur’ (perutnya) ini, “Sangat menolong di awal-awal kehidupan berumah tangga. Tak ada lagi kaget-kagetan melihat sifat satu sama lain dan tidak saling sungkan mengungkapkan pendapat masing-masing walau menyangkut pribadi pasangan kami.” Di akhir tulisan ini, pemegang ‘Piala Bergilir’ ke-17 (saat ini) mengucapkan “Proficiat untuk PP di ultah yang ke-20 dan ingat: ‘jangan lelah, bekerja di ladang-Nya Tuhan’ (sambil mendendangkan lagu favoritnya saat ini) demi semakin besarnya kemuliaan Tuhan.”

JN. Rony
20000620

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:16 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Reportase


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.