06 Mar 2006 @ 3:37 PM 

Satu lagi masa PraPaskah dimulai untuk mengawali Paskah dan mengenang kisah sengsara Tuhan kita Yesus dalam perjalanannya menuju bukit Golgota, bukit kematianNya. Beberapa hari lalu, umat Katolik diajak untuk menerima abu sebagai tanda pertobatan kita dan hari dimulailah pantang dan puasa. Abu dimaksudkan agar manusia menyadari bahwa dirinya hanya berasal dari abu yang tak bernilai dan akan kembali pula menjadi abu yang diabaikan.

Paskah berarti pertobatan, paskah berarti kemenangan atas dosa. Dosa dan tobat, adalah 2 hal yang bertolak belakang. Keduanya tak akan bisa terhubung tanpa pengorbanan Yesus yang rela mati di kayu salib. Mengapa demikian? Sebab tobat berarti mengakui segala dosa yang telah diperbuat dan mengubah jalan hidup dengan mengingkari segala dosa. Inilah yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan, sebab mengakui kesalahan berarti siap menanggung malu dan konsekuensi.

Beberapa waktu lalu dunia infotainment diramaikan dengan berita tertangkapnya Roy Marten yang menggunakan narkoba. Kasus Roy Marten yang kabarnya seorang Katolik konservatif ini tentu mengejutkan banyak pihak. Terlepas dari kasus yang menimpa Roy Marten, ada satu statement yang menggambarkan keteguhan seorang Roy Marten, yaitu: “Saya memang bersalah dan saya layak mendapatkan hukuman ini”. Inilah pengakuan dan kepasrahan seorang Roy Marten yang sadar bahwa dirinya memang bersalah dan bersedia menganggung konsekuensinya. Bahkan, dalam setiap kesempatan disorot oleh kamera, wajahnya senantiasa tegar dan menampilkan senyum, walaupun beberapa kali diberitakan bahwa selama dalam tahanan Roy menderita penyakit dan sebagainya.

Mengakui kesalahan, ini adalah hal tersulit yang harus dilakukan oleh seorang yang bersalah/berdosa. Manusia itu memang lemah dan rentan terhadap kesalahan. Namun dengan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, bukannya menyembunyikan kesalahan tersebut, maka itu berarti kita mau menyadari kesalahan tersebut dan belajar agar di kemudian hari tidak mengulang kesalahan yang sama. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa tanpa mengakui kesalahan pun bisa sadar, sebab dengan berani mengakui itu artinya hakekatnya sudah bersedia menerima malu dan bertekat agar tidak malu lagi. Tanpa mau mengakui, maka rasa malu itu tidak akan pernah ada, sehingga di kemudian hari tentu akan mengulangi kesalahan yang sama.

Sikap berani dari seorang Roy Marten yang mau mengakui kesalahannya hendaklah menjadi contoh bagi kita dalam menyambut Paskah. Abu yang telah ditorehkan ke dahi hendaklah selalu mengingatkan kita bahwa kita tak lebih dari seoongok abu yang hina dan nista. Dengan pantang dan puasa itulah… kita diharapkan mampu melawan hawa nafsu dan keinginan berbuat dosa. Dengan begitu, lengkaplah persiapan kita dalam merenungkan dan merasakan sedikit penderitaan Yesus.

Paskah mungkin sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan. Pertanyaannya sekarang adalah beranikah aku mengakui kesalahan yang telah kuperbuat? Beranikah aku dipermalukan oleh dosa yang telah kuperbuat? Sanggupkah aku menghadapi konsekuensi dari dosa itu? Dan maukah aku menjadikannya pelajaran hidup agar tidak mengulangnya kembali? Semoga pantang dan puasa kali ini bisa lebih bermakna lebih dari sekedar rutinitas, namun agar aku mau mengambil bagian kecil dari kesengsaraan Yesus dalam jalan salibNya mengalahkan dosa dan maut. Itulah makna seorang Katolik. Semoga aku bisa… Selamat menyambut Paskah!

Ad Maiorem Dei Gloriam!

JN. Rony
20060306

Bless the Lord, my soul… and bless the Holy Name…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 

Banjir

 
 13 Jan 2006 @ 12:17 PM 

Sore tadi aku menerima kabar dari Surabaya kalau rumahku kebanjiran lagi. Kali ini lebih parah, karena air sudah tembus masuk ke dalam rumah. Memang awal tahun baru kemarin rumahku kemasukan air hingga ke batas antara garasi dan ruang tamu dan kali ini ternyata ketinggian air makin menjadi dan alhasil ruang tamu hingga kamar tidur ikut terendam. 20 tahun aku menghuni kawasan perumahanku itu, mulai dari sawah (karena keluargaku adalah penghuni pertama di jalan itu) hingga sekarang yang sekelilingnya sudah penuh dengan rumah dan jalan-jalan besar beraspal. Selama itu pula belum pernah sekalipun rumahku kebanjiran, kalaupun hujan sangat lebat, paling-paling hanya jalan di depan rumah yang tergenang air. Memang beberapa tahun lalu, pernah sekali saja garasiku terendam air, namun hanya sebatas jari kaki; sedangkan yang terjadi pada awal tahun baru kemarin sudah sebatas pergelangan kakiku. Dan jadilah hari ini ketinggian air melewati batas itu.

2 tahun terakhir ini alam memang semakin tidak bersahabat dengan penghuninya. Action terhebat dari air terjadi pada akhir tahun 2004 lalu, dimana air telah meluluh-lantakan sebagian kawasan Indonesia Barat. Pada akhir tahun 2005 lalu, kembali alam menunjukkan keperkasaan sekaligus kemurkaannya dengan media air, seperti yang terjadi di Jember dan Banjarnegara. Di beberapa kawasan pun longsor akibat banjir telah terjadi. Belum lagi yang terjadi di perkotaan, banjir pun telah menjadi langganan tahunan yang bagaikan pemudik lebaran, setiap tahun kembali dengan membawa “teman” alias “tenaga extra” untuk semakin memenuhi kota. Tak heran ada iklan yang begitu mengena, berceloteh “Banjir kok jadi tradisi”, tentu ini perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri.

Dalam diskusi di sebuah stasiun radio yang kerap kudengar selama di Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa kemarahan alam ini disebabkan karena tindakan dari manusianya sendiri. Tindakan seperti penebangan liar, pembuangan sampah sembarangan, hingga ketidakseimbangan ekosistem. Begitu banyak pro dan kontra terjadi seputar kenapa alam “marah”, namun ada pertanyaan yang menggelitik, yaitu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kemurkaan alam tersebut? Pertanyaan inilah yang sulit untuk dijawab.

2,5 tahun yang lalu aku pernah menulis bagaimana aku belajar tentang sampah dari seorang wanita Jepang. Dia adalah istri temanku yang kini menetap di Jepang. Saat itu mereka berkunjung ke Indonesia dan di satu kesempatan aku dibuat malu sebagai manusia Indonesia yang kurang menghargai alamnya dengan seenaknya membuang sampah. Melihat budaya bangsa lain dalam cara mereka membuang sampah membuat aku berubah mulai saat itu. Aku bertekat, jika seorang bangsa lain bisa menghargai alam di sekitarnya walaupun bukan di negaranya sendiri, mengapa aku yang jelas-jelas dilahirkan dan hidup di alam yang sama tidak bisa memelihara keasriannya? Sejak saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan. Hingga hari ini, aku mencoba untuk mengevaluasi diriku, ternyata tidak susah lho… hanya masalah kebiasaan. Tak lupa dalam beberapa kesempatan aku pun mencoba untuk menularkan kebiasaan baruku itu pada teman-temanku.

Minggu lalu saat banjir terjadi di Jember, kembali sebuah wacana dilontarkan perihal mulai gundulnya hutan kita. Topik ini mungkin tidaklah terlalu banyak dipikirkan oleh kita; itu karena selama ini kita hidup di alam perkotaan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat. Namun bila mencermati berita-berita seputar bencana alam belakangan ini, kita bisa mengetahui bahwa saat ini sudah begitu banyak hutan kita yang sudah mulai gundul. Entah bagaimana kondisi hutan di luar Jawa, aku tak tahu… yang jelas hutan di sekitar Jawa Timur memang terlihat sudah mulai berkurang. Hal inilah yang kemudian menggugahku untuk kembali berjanji untuk mengurangi penggunaan kertas. Kenapa kertas? Karena bahan dasar kertas adalah pohon dan menghemat kertas sama dengan menyelamatkan pohon. Untuk itulah, saat ini aku memberdayakan kertas bekas untuk keperluan internal kantor. Berhubung kantorku tidak terlalu banyak menghasilkan kertas bekas, maka aku pun mengimport kertas bekas tersebut dari kantor lain.

Lucu memang. Apa yang kulakukan pada diriku mungkin terkesan sia-sia dan aneh. Namun aku tak peduli, aku yakin bahwa bila apa yang kulakukan ini bisa dilakukan oleh orang lain pula, maka hal yang kecil ini bisa membuahkan hasil yang besar. Sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu dengan seorang bule yang menjadi nasabah di perusahaanku. Lewat perbincangan kami, aku pun belajar dari bule tersebut tentang artinya menjaga alam dari sampah. Bule ini mengatakan bahwa perilaku manusia Indonesia begitu mudahnya membuang sampah batre dapat meracuni bumi. Padahal di negaranya hal tersebut dilarang dan bisa didenda. Di negaranya yang sudah maju itu memang batre di-daur ulang karena bahan baku batre memang beracun. Itu kenapa bule tersebut suka mengumpulkan batre bekas dan pada saat dia kembali ke negaranya, batre-batre tersebut dibawa ke negaranya untuk di-daur ulang. Jika mau dipikirkan, tindakan bule ini malah lebih gila dan konyol ketimbang yang kulakukan. Namun itu semua dilakukan karena sebuah keyakinan dan keinginan menjaga agar bumi tetap sehat. Hal lain juga terlihat di beberapa pantai di Kuta dan sekitarnya. Cukup sering turis-turis dari negara Eropa dan Amerika membersihkan pantai dari sampah di sela-sela liburannya di Indonesia.

Pikiranku kembali ke rumahku di Surabaya. Di Surabaya sampah memang sudah menjadi sebuah problema tak berakhir. Sampah kota makin hari makin bertambah. Yang paling parah adalah kesadaran dari masyarakat yang masih kurang dalam beretika membuang sampah. Orang masih membuang sampah tanpa malu di jalan raya bahkan jalan tol. Sampah-sampah inilah yang biasanya menjadi penyebab banjirnya kotaku… dan saat itu terjadi, satu sama lain saling menyalahkan. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Ebiet G. Ade… agar kita tahu kenapa alam murka… mungkin kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang… Malam makin larut… lamunanku makin dalam diselingi kantuk dan gerah karena cuaca sedang panas. Lagu Berita Kepada Kawan mengalun terus…

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuan

Tubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya “Mengapa?”
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

Let’s save the planet!

JN. Rony
20060113

kita mesti telanjang dan benar-benar bersih…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 19 Jun 2005 @ 11:30 AM 

Beberapa hari lalu seorang teman berkeluh kesah kepadaku tentang pekerjaannya. Saat itu dia menuturkan kegalauannya pada perusahaan tempat dia bekerja. Dia terus menerus menanyakan kenapa dia harus ditempatkan di salah satu kota tempat cabang dari perusahaannya yang jauh dari kampung halamannya dan jauh dari lingkungan keluarganya di Jakarta. Teman ini menceritakan betapa susahnya dia di kota yang baru itu, walau bisa bertahan, namun perjuangannya sangatlah berat. Aku lalu teringat perjuanganku saat pindah dari Surabaya ke Denpasar. Saat itu aku benar-benar mengalami depresi dan stress berkepanjangan, karena di Denpasar praktis aku seorang diri tanpa keluarga dan teman. Bahkan pernah saat itu aku sakit dan tidak mampu bangun dari tempat tidur selama 2 hari dan selama itu pula aku hanya bertahan dengan roti tawar dan air mineral. Tanpa sadar, 2 minggu lagi aku genap 1 tahun hidup di Bali, surganya dunia menurut para turis. Kembali ke keluhan temanku, menurutnya kondisi diperparah dengan begitu banyak ketidakadilan di perusahaannya. Tidak lagi jelas siapa pimpinan, siapa bawahan; hal ini dikarenakan struktur organisasi yang kurang jelas di perusahaannya.

Seorang teman lain pernah juga bercerita kepadaku. Di tempatnya bekerja nuansa sikut-menyikut menjadi sebuah trend. Siapa kawan dan siapa lawan sudah tidak jelas lagi. Bahkan saking canggihnya, unsur sadap-menyadap pun terjadi di perusahaan tempat teman ini bekerja. Kebetulan perusaahannya ini sedang berkembang pesat dan tiap kali kekosongan jabatan, selalu terjadi semacam perebutan kekuasaan. Benar-benar mirip kampanye partai. Bahkan pernah terjadi sebelum jabatan kosong, sudah terjadi rebutan. Mendengar hal ini aku jadi teringat saat nenekku memasuki masa-masa sekarat. Saat itu napas masih dikandung badan (walau kembang kempis), tapi tahu-tahu ada beberapa orang sales peti mati yang menawarkan jasa peti mati dan pemakaman seolah nenekku ini sudah gak bernyawa. Sungguh perbuatan paling tidak beradab yang bikin seluruh keluarga besar murka, sampai terjadi keributan di rumah sakit itu. Kembali ke temanku, dia saat itu berfilosofi bahwa kenapa itu (saling sikut, dsb.) harus terjadi, bukankah lebih baik jika masing-masing kerja dengan tenang, yang penting kerja bagus, target tercapai, gaji cukup, bonus bagus, hati tenang, dan hidup tentram? Memang, ini adalah impian setiap pekerja ๐Ÿ™‚

Aku teringat akan tulisanku tahun lalu, yang kubuat saat aku berkunjung ke Jakarta. Tulisanku terilhami oleh film Cheaper By The Dozen yang waktu itu baru kutonton bersama temanku di Citos. Sebuah keluarga dengan 12 orang anak dengan segala problematika dan keunikan masing-masing anggota keluarga, yang kulihat mirip dengan masalah yang dihadapi dalam sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan ibarat sebuah keluarga yang punya banyak anak. Di sana ada pimpinan (orang tua), kepala bagian (anak tertua) sampai karyawan biasa (anak termuda). Bila anggota keluarga ini mulai saling menjatuhkan dengan mementingkan ambisi pribadi, rasa iri hati, persaingan tidak sehat, anti-kritik, dan sebagainya; maka bisa dipastikan suasana rumah (perusahaan) akan menjadi tidak nyaman. Berbeda bila semua anggota keluarga saling mendukung, saling menghargai, saling memiliki, dan saling memaafkan; tentunya rumah tersebut bisa menjadi rumah yang kokoh, yang tak goyah diterpa badai gosip dan fitnahan.

Mungkin ada baiknya sebagai sebuah keluarga besar dalam satu perusahaan, masing-masing bisa meniru “moto” dari William Hung, sang inspirasi dari Asia; yang pemikirannya sangatlah menyentuh:

1. “I may not the best singer in the world, but I sing from my heart and I sing with passion. I enjoy what I do, not for money, not for fame. I just enjoy singing.”

2. “Even with a lot of talent in singing, even with a lot talent in whatever you choose to do, you still have to put in this hard work and you need to determination and perseverance, not to give up.”

3. “It doesn’t matter if it’s childern, adults, maybe even seniors; all these people just like me and they like for my real self. It is great to be my self and have people respect me for who i am. I wish more people in entertainment industry can be who they are, it makes life happy for everyone in the world.”

Nama William Hung pada tahun 2004 sempat meroket. Anak Amerika keturunan Hongkong ini adalah salah satu “icon tambahan” dalam ajang American Idol. Dia tenar bukan karena dia menang di kontes bergengsi yang melahirkan beberapa penyanyi tenar, melainkan karena dia gagal di kontes itu. Kegagalan yang dialami bukanlah kegagalan biasa, melainkan dia gagal karena William adalah kontestan paling “aneh” mengingat dia tidak tampan, tidak tidak bisa menari dan yang terparah dia tidak bisa menyanyi! Namun lewat CDnya (yang diobral murah oleh beberapa toko musik), William mengungkapkan pemikiran di atas. Dia mengaku menyanyi dengan hati gembira, bukan untuk ketenaran ataupun uang. Dalam bekerja, bila kita melakukannya dengan hati gembira, tentunya pekerjaan yang kita lakukan akan terasa sangat ringan. Karir dan uang memang harus kita raih, namun janganlah itu menjadi tujuan utama. William juga berprinsip bahwa kita harus selalu mengusahakan yang terbaik dengan tetap rendah hati. Jabatan dan kesuksesan seringkali membutakan mata kita, untuk itulah kita perlu belajar dari William Hung, agar tidak berpuas diri dengan hasil yang kita raih, serta mengasah kerendahan diri agar tidak jatuh dalam kesombongan dan ketamakan. Dan yang terutama, William mengajarkan agar kita menjadi diri sendiri. Alangkah menyenangkan bisa bekerja bersama orang-orang yang tidak memakai topeng-topeng dan senyum-senyum penuh kepalsuan. Dengan menjadi diri sendiri, kita bisa lebih mempercayai partner kerja kita, kita bisa bekerja dengan sepenuh hati. Dengan demikian, maka masing-masing dari kita menjadi penopang bagi perusahaan tempat kita bekerja.

Cerita dari kedua temanku di atas adalah sedikit dari dilema dunia kerja. Gambaran dari film Cheaper By The Dozen dan pemikiran dari William Hung mungkin bisa menjadi salah satu jawabannya. Namun yang terpenting adalah maukah kita memulainya dari diri kita?

“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” — Lukas 14:11

JN. Rony
20050619
dipersembahkan untuk yy di sana…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.