20 May 2001 @ 4:16 PM 

Dunia per-film-an kembali mendapat satu tontonan apik. Judulnya “Man Of Honor”, manusia dengan sebuah kehormatan. Di film tersebut diceritakan seorang negro, Carl Breshier (diperankan oleh Cuba Gooding, Jr.) yang berbekal didikan “keras” dari ayahnya yang tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dia yang hanya seorang buruh upahan penggarap ladang. Singkat cerita, Carl ini masuk ke dalam dinas ketentaraan Angkatan Laut. Pada masa itu masih terjadi pembedaan ras antara kulit putih dan kulit hitam. Kelompok negro hanya mendapat porsi sebagai koki atau penyemir sepatu. Untuk berenang saja dipisahkan harinya dengan para awak kapal kulit putih. Carl dengan segala keberanian dan tekatnya berhasil “mengambil hati” dari atasannya dan ia dimasukkan sebagai anggota tim perenang penyelamat. Dari posisi barunya ini ia “terpikat” oleh Master Chief Sunday (Robert DeNiro), seorang kepala tim penyelam penyelamat. Dengan berbekal tekat baja warisan ayahnya, ia berhasil masuk ke pusat pelatihan (yang kebetulan dikepalai oleh Sunday) dan menjadi satu-satunya negro di sana. Dibenci, dijauhi, dihalang-halangi, dihina, dan semua yang jelek-jelek sudah menjadi makanannya tiap hari di tempat itu. Penghibur satu-satunya adalah masih ada seorang kulit putih bernama Snowhill yang mau berteman, sekamar, dan membantu dia. Tak terasa tahun pun berlalu dan tibalah Carl pada ujian akhir dan berbekal tekatnya menjadi seorang “Master Chief” – jabatan bergengsi sebagai penyelam utama, dia berhasil melampaui tes itu walaupun dia sengaja ingin digagalkan dengan cara yang licik. Akhirnya dia pun dapat bertugas, namun sayang kakinya mendapat kecelakaan saat hendak menyelamatkan 2 orang awak kapal. Impiannya menjadi “Master Chief” pun sempat hancur sebelum niatnya itu dibangun kembali oleh Sunday yang menaruh simpati padanya. Berbekal tekat pula, dia meng-amputasi kaki kirinya yang cedera dan mulai berlatih untuk bisa masuk kembali dalam kesatuan penyelamnya. Halangan pun kembali melekat padanya sampai akhirnya dia harus maju ke sidang untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi penyelam walau buntung. Persyaratan yang harus dijalani adalah berjalan 12 langkah saja dengan menggunakan baju selamnya, yang menurut banyak orang adalah hal yang tidak mungkin mengingat kaki palsunya yang tidak akan mampu menahan beban baju selam yang begitu berat. Dengan dukungan moral dari sang mantan “Master Chief” Sunday, dia melangkah satu demi satu dan berhasil memenangkan “pertarungan” di pengadilan itu. Dia boleh bertugas kembali dan baru 9 tahun kemudian pensiun. Dia menjadi orang negro pertama yang menjadi “Master Chief” di Angkatan Laut AL. Dikatakan oleh Carl, bahwa semua itu dilakukan dengan satu tekat, yaitu kehormatan sebagai seorang Penyelam Angkatan Laut.

Kita coba melihat pribadi Yesus dalam diri Carl ini. Bila Carl harus memulai sebagai negro miskin dan menjadi koki di kapal … maka Yesus, mulai awal kedatanganNya ke dunia ditolak orang sehingga harus lahir di sebuah kandang. Bila Carl mengalami masa-masa pahit di kamp pelatihan, dibedakan haknya dengan orang kulit putih, maka Yesus dan pengikutNya pun sering dianggap “gembel” karena bergaul dengan para pendosa. Yesus bagaikan seorang negro. Lalu saat Carl mulai menempati posisi sebagai penyelam setelah lulus dan mulai terkenal, sama halnya dengan Yesus yang saat berkarya mampu menarik simpati banyak orang. Hingga tiba saatnya Carl mengalami musibah… saat kakinya nyaris putus… ia mulai “disingkirkan”, sama seperti Yesus yang harus “diusir” dari desanya akibat ketidakpercayaan mereka mengingat “masa lalu” Yesus sebagai anak tukang kayu. Tekat Carl yang kembali dibangun dan berlatih bisa menggambarkan Yesus saat disambut dengan begitu meriah di Yerusalem dan saat Carl harus menjalani 12 langkah maut dalam pengadilan… adalah Jalan Salib Yesus ke bukit Golgota… Pada akhirnya, Carl bisa menang menjadi “Man Of Honor”… demikian pula dengan Yesus yang bisa memenangkan “pertarungan” dan menyabet “The Great Honor”.

Kita bisa lihat betapa perjuangan Carl yang begitu berat sanggup dilewatinya hanya oleh karena pesan dari ayahnya, yaitu “Jangan Pernah Menyerah”; demikian pula Yesus yang taat dan setia sampai mati hanya karena menjalankan perintah BapaNya. Maka tidaklah salah bila ayah Carl mengukirkan “ASNF” di kotak radio bututnya, yang berarti “A Son Never Forget” – seorang anak yang tak terlupakan. Demikianlah Yesus yang juga “A Son Never Forget” bagi Bapa di Surga dan kita di dunia…

Pertanyaannya, sanggupkah kita menjadi seorang Carl Breshier dalam kehidupan kita ? Atau mungkin lebih tepat jika kita bertanya, maukah kita menjadi seorang Carl Breshier ? Bila jawabannya adalah YA, maka bila kita bercermin… kita telah melihat Yesus sendiri ada di depan kita!

Ad Maiorem Dei Gloriam!

JN. Rony
20010520

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:16 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.