08 Jun 2004 @ 6:05 PM 

Sekitar 4 tahun yang lalu, aku pernah menulis tentang betapa “beratnya” perjuanganku menjadi seorang Katolik. Kali ini aku mau meralatnya menjadi betapa ringannya menjadi seorang Katolik… namun SANGAT BERAT mempertahankan ke-Katolik-an kita.

Sekian tahun aku seringkali “mengeluh” bila melihat ke masa lalu… betapa susahnya mau menjadi seorang Katolik. Belum lagi bila membaca atau mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang merasa “dipersulit” saat mengajukan dirinya untuk dibaptis. Benar atau tidaknya semua cerita tersebut… setidaknya aku pribadi pernah merasakan “birokrasi” saat ingin dibaptis. Di beberapa milis rohani yang aku ikuti sempat terjadi beberapa diskusi seru (lebih tepat disebut perdebatan) tentang Katolik, misalnya beredarnya VCD kesaksian mantan suster yang menjadi Islam, kawin campur antara Katolik dengan non Katolik, persamaan Yesus dengan Muhammad, sampai adanya teman yang pindah agama hanya karena pekerjaan atau ikut pasangan.

Dalam beberapa bulan terakhir pula… seolah aku disadarkan oleh Tuhan akan kenyataan yang memberikan terang bagi pikiranku yang sempit itu lewat peristiwa-peristwa yang aku alami… 3 bulan terakhir, kantorku berurusan dengan salah seorang karyawan cabang yang “nakal”. Karyawan satu ini suka sekali omong besar, melebih-lebihkan sebuah fakta yang bahkan mungkin tidak pernah ada. Awal mula kami tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena memang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan… biarlah itu menjadi urusan pribadinya… selama dia bisa menunjukkan performa kerja, kenapa kita harus mempermasalahkan… begitu pikir kami. Namun, seiring dengan waktu… keadaan bertambah parah… karena orang ini sudah berani berbohong dan menipu uang perusahaan, walaupun secara jumlah tidaklah sebanding dengan nama baiknya bila ketahuan. Sampai akhirnya kesabaran pun habis, dan kami mengeksekusi si karyawan ini… itupun masih dengan cara yang sangat halus. Untuk jaga-jaga saja… aku sempat meminta data diri orang ini, siapa tahu suatu hari dia membuat masalah lagi. Nah, saat kupandangi fotokopi KTP yang diberikan padaku… aku sempat kaget melihat bahwa karyawan ini beragama Katolik. Aku sempat malu… kenapa kok Katolik seperti itu?

Akhir minggu kemarin aku berkunjung ke mantan romo parokiku yang sudah pindah ke luar kota. Saat berbincang aku sempat utarakan niat untuk meminta bantuan pada romo ini, apakah punya kenalan/umat yang bisa butuh kerja? Kebetulan memang kantorku butuh beberapa orang untuk ditempatkan di beberapa kota. Nah, si romo mengiyakan tapi dengan catatan bahwa tidak bisa cepat. Dia bilang, “Kalau saya tidak merekomendasikan, saya tidak berani nawari.” Yah, memang kami pribadi prefer yang melamar kerja itu Kristen/Katolik, dengan pertimbangan agar punya sedikti kesamaan persepsi, walaupun tidak menutup kemungkinan bila ada yang non Katolik tapi punya kerja yang bagus. Namun, romo itu langsung bilang, “Katolik bukan jaminan lho! Banyak orang Katolik juga gak bener.”

Mungkin lewat peristiwa demi peristiwa itulah Tuhan mau membuka mataku bahwa sesulit apapun orang meraih sebuah tujuan… lebih sulit lagi mempertahankan tujuan kita tersebut. Aku jadi teringat seorang kawan frater yang sejak awal kami jagokan bisa menjadi romo yang “gaul” dan “funky”, karena secara pribadi orangnya baik dan dekat dengan kaum muda, belum lagi dia termasuk pintar di seminari, bahkan sampai tugas pastoral pun dia sudah dijagokan bisa segera ditahbiskan tanpa halangan. Tapi apa mau dikata… kami sangat kaget ketika si frater memutuskan untuk keluar dari seminari dan memutuskan untuk menikah. Namun, kami sangat menghargai perjuangan si frater tersebut dan itu adalah pilihannya yang harus dihargai sepenuhnya. Aku juga teringat akan seorang cicikku yang memutuskan untuk pindah “mutasi” ke gereja calon suaminya, padahal sebelumnya dia adalah aktivis di gereja.

Memang, mempertahankan ke-Katolik-an kita jauh lebih sulit dibandingkan saat kita menyatakan diri untuk dibaptis secara Katolik. Untuk menjadi seorang Katolik, paling kita hanya membutuhkan waktu 1-2 tahun (bila lancar dan niat) atau misalnya parah (seperti aku) butuh waktu 5-6 tahun agar bisa dibaptis. Tapi setelah itu? Apakah kita bisa terus mempertahankan “identitas seumur hidup” kita itu? Cukupkah dengan rutin ke gereja setiap minggu? Ataukah cukup dengan mengikuti persekutuan, acara lingkungan, dsb.? Jawabannya adalah TIDAK. Aku pribadi pernah mengalami timbul-tenggelamnya saat aktif dalam berbagai kegiatan gereja. Banyak pula aku melihat orang-orang yang sangat aktif di berbagai komunitas. Namun, semuanya itu tidak menjamin diri kita adalah seorang Katolik sejati. Contoh paling simple adalah saat kita mengikuti misa dalam gereja… berapa persen yang benar-benar merasakan misa sebagai persekutuan dengan Yesus yang benar-benar hadir saat itu? Aku yakin banyak dari kita yang merasakan misa sebagai sebuah rutinitas yang harus dijalani agar tetap dianggap sebagai orang Katolik. Bahkan ada yang lebih parah, aktif di berbagai komunitas, namun sama sekali tidak pernah terdengar atau terlihat di gereja atau paroki.

Pelayanan bukanlah jaminan bahwa kita orang Katolik yang sejati… namun setidaknya diharapkan mampu mengingatkan diri kita bahwa kita punya “cap” yang harus dijaga. Begitu pula dengan sudah menjadi Katolik bukanlah berarti kita mendapatkan “free-pass” menuju ke Surga. Menjadi Katolik berarti kita harus bisa meniru teladan kita, Yesus, dalam hidup sehari-hari. Menjadi Katolik berarti kita harus berani menerima resiko “diserang” oleh “dunia” akibat ke-Katolik-an kita. Seringkali orang berpikir sempit menjadi seorang Katolik hanya agar bisa memperoleh kemudahan bila berurusan dengan gereja, misalnya mendaftar ke sekolah Katolik, menikah, dsb.

Yang dibutuhkan di sini adalah kesadaran dan tekat serta niat untuk mengikuti Yesus saat menjadi seorang Katolik. Bila itu bisa dilakukan maka tentunya kita tidak perlu takut bila iman kita diserang, dsb. Kita tidak perlu pula takut akan berita atau tontonan yang meresahkan iman kita beredar di masyarakat. Yang terpenting adalah kita bisa menunjukkan kepribadian Katolik kita dalam hidup sehari-hari. Dalam dialog di sebuah koran tentang peranan Gereja dengan Pemilu, romo nara sumber mengatakan bahwa tidak perlu memusingkan bahwa pelayanan gereja dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai isu kristenisasi. Dikatakan bahwa belajarlah dari proyek Rm. Mangun yang awal mulanya juga dianggap sebagai proyek kristenisasi, toh akhirnya juga dianggap sebagai sebuah karya besar bagi bangsa. Sesuatu yang dilandasi dengan niat tulus tentunya akan menjadi besar.

Beberapa waktu lalu aku berkunjung ke seorang teman frater di Malang setelah sekian lama tidak bertemu. Saat itu kami begitu lama berbincang dan dalam salah satu perbincangan tercetus pertanyaan si frater bagaimana aku menyikapi perkembangan saat ini agar aku tidak sampai pindah agama. Aku pun menjawab dengan peganganku sampai detik ini, yaitu aku menganggap bahwa aku baptis itu seolah aku berinvestasi. Aku sudah menghabiskan sekian tahun hanya untuk menerima beberapa tetes air disiramkan ke dahiku… itu sebuah perngorbanan yang besar… lalu apakah hanya karena “angin kecil” yang lewat dalam hidupku lalu aku menutuskan begitu saja pindah? Bagi aku yang memang punya aliran darah pedagang, hal itu sama sekali tidak menguntungkan aku. Hmmm… sebuah alasan yang konyol memang… bahkan mungkin ada yang akan mencela alasanku tersebut.

Menjadi Katolik bagiku adalah investasi jangka panjang, sehingga apa yang aku keluarkan saat aku memutuskan untuk jadi Katolik tentulah tidak sebanding dengan kerugian jangka pendek yang aku terima saat investasi tersebut telah berjalan. Mungkin ada orang-orang yang memutuskan untuk memindahkan investasi ke tempat lain, itu sah-sah saja… asalkan di tempat yang baru, dia bisa membuat investasinya tersebut menjadi lebih menguntungkan dan berbuah banyak. Itu kenapa aku juga tak mau menghakimi mereka yang pindah agama, bila memang di tempat yang baru mereka bisa lebih berkembang. Aku juga tidak mau pusing dengan keyakinan agama lain, karena memang tidak ada agama yang paling bagus di dunia, selain agama yang kita yakini.

Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup kita saat ini dan di tempat ini, sekarang. Ada sebuah “spirit word” yang sangat indah, “Dreams as you will live forever. Live as you will die today.” Menjadi manusia memang harus bermimpi dan mengejar cita-citanya setinggi langit, seolah kita adalah seorang Highlander, manusia abadi… namun bila kita bisa hidup seolah hari ini adalah hari terakhir kita di dunia… tentunya kita akan melakukan kebajikan setiap hari, dimana pun kita berdiri. Aku ingin jadi Katolik seperti itu!

JN. Rony
20040608

yang lagi belajar investasi di dunia & akhirat

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Personal


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.