29 Jun 2001 @ 4:22 PM 

Menjadi seorang katolik adalah “cita-cita” Nico sejak kecil, sebuah keinginan terpendam sejak Nico mengenal gereja dan ritus misa sewaktu belajar di Sekolah Dasar. Begitu kagum dan mungkin mayoritas murid di SD adalah Katolik (maklum SD Katolik sich) maka Nico pun menyimpan erat-erat keinginannya untuk bisa menjadi “satu dari antara mereka” yang bisa menerima hosti… saat itu begitu bangganya diri Nico bila membayangkan bisa maju dan menerima komuni. Keinginan terpendam itupun tercapai sudah saat Nico dibaptis dan menerima komuni pertama saat kuliah. Sesbuah perjalanan panjang, sehingga Nico begitu senang dan iapun menjadi lebih giat lagi ke gereja serta mulai aktif di organisasi katolik serta mengikuti acara-acara rohani katolik. Apalagi saat itu sedang hangat-hangatnya gerakan karismatik di kalangan muda-mudi. Tak terasa Nico pun mulai mempelajari perihal iman katolik dari buku-buku dan bertanya serta berdiskusi dengan orang-orang yang dianggapnya mengerti.

Akibat kebiasaan ini, Nico sering dijadikan semacam “kamus berjalan” alias tempat bertanya oleh teman-temannya perihal sesuatu yang menyangkut iman katolik, mulai dari hal yang kecil sampai yang sulit-sulit… ada kalanya Nico bisa menjawab pertanyaan mereka, ada kalanya juga tidak bisa menjawab dan hal ini biasanya menjadi semacam PR buatnya, sehingga untuk menghilangkan rasa penasarannya, maka Nico pun segera mencari tahu penjelasan dari pertanyaan sulit itu. Namun, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan itu, Nico sering menjawab dengan, “menurut bukunya romo ini, tertulis…”; “menurut suster itu, katanya…”; “katanya pak/bu itu, harus begini… harus begitu…”; “kalau tidak salah, aku pernah dengar/lihat kalau itu seharusnya begini… begitu…”; dan masih banyak segudang jawaban yang diberikan Nico berdasarkan referensi yang pernah diperolehnya lewat buku ataupun lewat diskusi dengan romo/awam, bahkan ada juga yang hanya dari kejadian sesaat yang dilihat atau didengarnya.

Seperti halnya Nico, kita pun seringkali menjalani kehidupan iman katolik kita dengan referensi atau “kata orang” saja. Seringkali kita tidak menyadari bahwa menjadi seorang Katolik tidak cukup hanya dengan dibaptis, menerima komuni setiap minggu, mengaku dosa setahun minimal 2 kali, atau syukur-syukur bisa menerima sakramen krisma. Kita lebih sering mengimani iman Katolik kita melalui buku, melalui kata romo kita, kata teman kita, dsb. Kita cenderung untuk mengupas iman kita sampai kulitnya saja tanpa mau merasakan sendiri bagaimana rasa dari isi iman itu sendiri… kita lebih suka mencari amannya. Bila kata orang enak, maka saya akan mencobanya… bila tidak, ya berarti saya selamat karena tidak ikut merasakan susahnya. Dalam beriman kita cenderung membebek apa yang kita dengar atau kita lihat. Memang, tidaklah salah bila kita mencari tahu perihal iman melalui buku atau referensi dari berbagai sumber. Namun, sekiranya hal itu perlu dibarengi dengan penghayatan kita. Akan percuma bila kita mengetahui segala sesuatu tentang iman, tapi kita tidak mengimaninya dalam kehidupan sehari-hari kita. Bila demikian, kita hanya akan seperti orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hanya bertindak saleh untuk dipuji orang lain.

Mengimani secara sungguh apa yang kita lihat dan kita dengar serta kita alami dalam hidup beriman adalah lebih penting dan lebih berharga daripada seluruh fakta yang ada di sekitar kita. Dengan kata lain, bisa jadi apa yang dikatakan orang lain itu berbeda dengan pengalaman iman kita. Mengapa bisa demikian? Sebab ini masalah iman dan iman itu hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang yang mengimaninya. Dalam Injil saja, terdapat beberapa versi “kata orang” tentang siapakah Yesus itu. Ada yang bilang Yohanes Pembaptis, ada yang menjawab Yeremia, ada yang mengatakan Elia, ada juga yang berkomentar salah satu dari para nabi (Mat 16:14). Nah, manakah yang benar? Seandainya kita sedang bersama-sama dengan Yesus, sedang makan dan minum bersama Yesus, sedang bercakap-cakap dengan Yesus, apakah kita akan percaya dan berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh orang-orang itu? tentu tidak bukan? Bagaimana mungkin kita yang sudah mengenal siapakah Yesus saat kita berjalan, makan dan minum, berbincang denganNya akan mengatakan Yesus adalah orang lain? Sudah selayaknyalah bila kita dekat dengan Yesus kita akan menjawab seperti Simon Petrus, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16).

Marilah kita mulai menghayati apa yang kita imani, bukan hanya menjadi pengetahuan otak kita saja, melainkan kita mau menjadikan sebagai pengetahuan hati kita. Dengan demikian, apa yang kita imani ini dapat menjadi semakin sempurna dan segala kemuliaan dapat dikembalikan hanya kepada Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin!

Selamat HUT ke-21 PDMPKK St. Petrus Paulus! Semoga Tuhan memberkati pelayanan kami.

JN. Rony
29 Juni 2001

Hari Raya Santo Petrus dan Paulus

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:16 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.