Siang itu kulahap lagi potongan daging ayam KFC. Resmilah jadi hari ke-5 aku berturut-turut menyantap KFC dengan menu yang sama. Agaknya kejenuhan yang amat sangat telah menghampiriku lagi dan kali ini KFC-lah yang menjadi sasaran pelampiasanku. Agh! Aku butuh suasana baru… aku capek! Memang, pasca libur lebaran yang kuisi dengan aktivitas menjadi supir+guide dadakan agaknya masih belum cukup mengusir kejenuhan yang telah kualami setelah 2,5 tahun menghuni pulau yang indah namun juga membosankan ini. Aku harus berlibur, kataku pada diriku sendiri. Kemana, aku tak tahu… ku belum bisa berpikir karena malam dan esok hari aku harus menemani tamu kantor, orang dari daratan Cina yang sedang berlibur ke Bali. Mengingat ini kunjungan pertamanya, hingga minggu malam aku benar-benar dimanfaatkannya untuk menikmati Bali dan hasilnya setelah mengantarnya kembali ke bandara, aku pulang dengan badan capek dan kepala pusing.
Hari Senin kulalui dengan segala rutinitas biasanya lagi. Namun aku sudah bertekat, aku harus berlibur!!! Hari itu kuselesaikan segara pekerjaanku untuk seminggu ke depan, tapi masalahnya adalah aku masih belum tahu harus kemana? Ach… peduli amat, kupikir. Biar besok saja kutentukan arah tujuanku… yang penting semua pekerjaan harus selesai dan kamar kost pun harus segera dibereskan. Malam itu mobil pun kubersihkan dan kusiapkan untuk sebuah petualangan… and here i go…
Day 1, kupacu mobilku dengan kecepatan standar ke arah barat pulau Bali. Sepanjang perjalanan kunikmati pemandangan alam Bali yang selama ini kuabaikan, karena kebanyakan aku melewatinya pada malam/dini hari. Oh… betapa hijaunya alam ini, sawah-sawah terasering yang sering menjadi kebanggaan Bali begitu indahnya terhampar di kiri atau kananku. Sayang, menjelang sunset aku yang rencananya ingin menikmatinya di daerah pantai Soka atau Medewi jadi kuurungkan karena hujan 🙁 Herannya selama di Denpasar, hujan tak kunjung turun, sedangkan di daerah Tabanan, Jembrana, Negara sampai Gilimanuk aku kerap ditemani oleh hujan deras. Sesampai di Negara, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi seorang teman lama satu sekolah yang hidup dan membuka usaha di kota kecil di Bali Barat ini. Di sana kulepaskan sejenak kepenatanku sambil dijamu makan malam dan mengobrol hingga larut malam. Topik perbincangan pun bervariasi, mulai dari gosip, update news tentang teman-teman, sampai ke politik 🙂 yah, namanya juga ngobrol santai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, walau aku diminta untuk menginap, namun kutolak karena aku ingin segera menyeberang ke Jawa. Setibanya di kapal, kucoba untuk tidur namun perutku agaknya tidak bisa diajak kompromi dan hasilnya badan jadi tidak enak dan sulit tidur. Malam itu kuseberangi selat Bali dengan perasaan gundah tanpa tujuan yang jelas. Setibanya di Ketapang, kubelokkan mobilku ke arah Banyuwangi dan tak jauh dari pelabuhan kuhentikan mobilku di sebuah hotel murah meriah untuk beristirahat sambil buang hajat. Malam itu kutertidur dengan perasaan yang bercampur aduk, karena esok aku akan menempuh perjalanan yang belum pernah kulakukan… sendirian dan tak tahu jalan…
Day 2, kuterbangun dari tidurku yang kurang nyaman dan kulihat jam di hp-ku sudah menujukkan pukul 7. Wah, kesiangan nich… ternyata alarm yang kunyalakan di hp-ku yang lain salah setting, karena masih menggunakan waktu Bali, pantas aku tidak dengar. Segera kumandi dan membereskan semua barang-barang dan check-out serta makan pagi. Well, untuk kamar seharga 66.500 semalam dan dapat breakfast untuk 2 orang, hotel ini tergolong sangat murah. Maklum, walau kamarnya jelek sekali dan ac-nya berisik, namun dengan makan pagi soto/rawon, kuhitung-hitung jika kamar ditempati berdua, tentunya sangat-sangat murah. Setelah makan, kupacu lagi mobilku menuju ke arah Jember. Gila! Halus juga jalanan di selatan ini, kupikir. Dibandingkan lewat jalur utara yang jalannya penuh lubang, ditambah lagi sinyal hp untuk 2 operator gsm yang kupakai semuanya bagus, termasuk di daerah Kalibaru yang jalanannya berkelok-kelok memutari gunung. Ada satu fenomena yang kutemui di sana, yaitu begitu banyak orang-orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan, yang mengais rejeki “recehan” dari pengemudi mobil yang melintasi jalur yang cukup maut tersebut dengan memberikan aba-aba di tiap tikungan. Bahkan menurut seorang teman, jika malam hari mereka membawa lentera sebagai penerangan, karena di sana memang tidak ada penerangan jalan dan jumlah para penunjuk jalan ini sangat banyak, seperti polisi “cepek” di Surabaya atau Jakarta. Setelah sekitar 4 jam, tibalah aku di kota Jember dan siang itu kutemui seorang teman yang sedang berjuang hidup dan bekerja di kota yang jauh dari keramaian ini. Kami makan siang bersama, menyantap ikan bakar rica-rica yang super pedas dan membuat perutku panas dan sakit, sambil ngobrol santai. Malam itu aku ditampung di rumahnya dan kami menyempatkan diri makan ronde dan angsle setelah temanku ini pulang kerja, disambung dengan ngobrol sampai tengah malam, baru tidur untuk memulihkan tenaga yang telah terkuras.
Day 3, pagi itu kuucapkan selamat berpisah pada temanku di Jember dan kulanjutkan kembali perjalananku menuju ke Malang. Selepas dari Lumajang, jalanan yang kulalui sangatlah berliku dan cenderung berbahaya bagi yang belum terbiasa menyetir di jalanan gunung. Sekali lagi aku merasakan betapa indahnya alam Indonesia ini, sayang aku tidak memiliki kamera yang mampu mengabadikan pemandangan indah tersebut, ditambah lagi hatiku agak deg-deg-an melihat indikator bensin mendekati huruf E akibat kelalaianku tidak mengisi bensin saat melintasi Lumajang tadi. Aku terus berdoa agar jangan sampai mogok di tengah jalan, karena di sepanjang jalan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tak kurang 1 jam aku berkelok-kelok dengan perasaan was-was dan konsentrasi tingkat tinggi, akhirnya aku bisa bernafas lega karena aku menemukan peradaban dan pom bensin! Setelah mengisi bensin dan sedikit meringankan diri di toilet, kulanjutkan perjalanan yang ternyata masih saja berkelok-kelok bahkan lebih parah lagi karena begitu banyak truk dan bus yang jalannya lambat dan membentuk iring-iringan panjang. Sekitar 4 jam lebih aku menyetir, akhirnya… Malang, here i come! Di kota ini aku bertemu lagi dengan beberapa teman lama dan melepaskan kangen pada beberapa depot favoritku 🙂 memang Malang termasuk salah satu kota yang bisa membuatku betah untuk tinggal.
Day 4, pagi ini aku agak malas bangun… badanku masih capek dan kepalaku masih agak pening. Kupaksakan untuk bersiap melanjutkan perjalananku. Setelah menemui seorang romo pembimbing yang lama tak kukunjungi, aku menjemput seorang teman yang hendak ke Surabaya pula, lumayan… ada teman di perjalanan untuk ngobrol. Untung perjalanan tidak terlalu lama ditempuh walau tol gempol-porong kembali ditutup karena tanggul retak. Bencana Lapindo ini emang menyedihkan dan merepotkan banyak orang. Setibanya di Surabaya, aku langsung makan siang bakso kesukaanku di kawasan Majapahit dan setelah mengantar temanku, aku menuju ke kantor untuk beberapa keperluan. Setelah pulang kantor, barulah aku menuju ke rumah dan ternyata aku tiba di hari tetangga depanku rumahku meninggal. Pak dokter itu telah tiada, semoga almarhum diterima di sisiNya. Amin.
Hari ini sudah masuk hari ke-6 dan aku masih enggan untuk kembali ke Bali. Begitu berat beban yang kurasakan, membuatku memilih untuk menjauhi segala keramaian untuk sesaat. Tak banyak yang kulakukan di kotaku ini, kecuali berusaha menenangkan diri dan mencari hikmah atas segala peristiwa. Sanggupkah kuhadapi kenyataan yang ada di depan mata? Aku tak tahu, bahkan tak yakin. Mungkin memang lebih mudah melarikan diri dan bersembunyi. Segala kebanggaan itu agaknya telah tiada, hancur oleh kekhilafan diri. Malam-malamku masih saja diselimuti oleh pertanyaan-pertanyaan… dan aku berharap dapat segera menemukan jawabannya…
JN. Rony
20061112
hidup adalah sebuah pilihan…
Satu lagi perjalanan kutempuh. Kali ini Jakarta kembali menjadi tujuanku. Entah kenapa, perasaan begitu berkecamuk menjelang keberangkatanku. Memang biasanya aku sedikit gelisah apabila hendak bepergian jauh, namun kegelisahanku kali ini begitu hebatnya, sampai-sampai makanan yang disediakan di airport lounge hampir tak terjamah, walaupun sebenarnya perutku lapar karena tak sempat sarapan pagi. Apakah suatu pertanda buruk? Aku tak tahu. Yang pasti aku hanya bisa berpasrah pada keadaan, toh tiket sudah di tangan.
Alasanku kali ini ke Jakarta bagi beberapa temanku agak berlebihan, yaitu menghadiri pernikahan seorang teman. Menurut mereka sebenarnya aku tak punya kewajiban untuk datang, mengingat biaya yang tentunya tidak sedikit ditambah lagi dengan kenangan masa lalu yang mungkin bisa membuatku sakit hati. Namun, entah kenapa aku tak bisa menolak permintaan untuk hadir. Dalam hati kecilku, aku mungkin masih menyayangi dia, mungkin juga bisa menjadikan diriku untuk berdamai dengan perasaan masa lalu. Well… inilah rumitnya seorang melankolis. Nah, agar waktuku bisa efektif, aku pun meminta bantuan seorang teman di milis untuk mengadakan mini-gathering para gadgeter.
Jumat siang aku mendarat di Jakarta dan langsung menaiki bus damri menuju ke tengah kota. Tujuan pertama ada kantor pusatku di kawasan Thamrin. Sepanjang perjalanan aku banyak melamun menatap kosong pemandangan kota yang cukup kumuh dan ruwet. Mungkin inilah yang jadi alasanku tak ingin pindah ke Jakarta, begitu kataku dalam hati. Setibanya di Thamrin, aku menuju McD untuk mengisi perutku yang sudah tidak bersahabat, namun lagi-lagi semuanya itu kutelan dengan sia-sia tanpa ada kenikmatan. Kegelisahan ternyata mengalahkan rasa laparku. Setelah jam istirahat usai, aku menuju ke kantor untuk bertemu dengan beberapa bos untuk membicarakan tentang pekerjaan.
Menjelang malam aku menuju ke Senayan City untuk acara mini-gathering dengan sedikit perjuangan berhimpitan dengan banyak manusia di dalam busway. Setibanya di lokasi acara, ternyata cukup ramai yang datang, dilanjutkan dengan obrolan ringan dan agenda rutin, yaitu pamer gadget untuk difoto. Acara berlangsung hingga malam, sehingga aku pulang dengan badan capek.
Sabtu, seharian kuhabiskan dengan mengobrol dengan temanku yang rumahnya kutumpangi. Baru malamnya kupergi menuju hotel tempat acara pernikahan digelar. Mengingat sedikitnya undangan yang kukenal, malam itu aku merasakan kesendirian di tengah-tengah ratusan undangan yang hadir. Malam itu aku kembali melihat temanku yang tampil sangat cantik di pelaminan. Sudah cukup lama aku tak berjumpa dan malam itu aku berjumpa dalam pesta pernikahannya. Memang, rasa sayang itu tak pernah hilang, namun dalam hati aku berdoa agar dia bisa berbahagia selamanya hingga akhir hayat.
Di hari Minggu siang kubangun dari tidurku yang kurang nyaman akibat gangguan segerombolan nyamuk yang mengganggu sepanjang malam. Siang tadi lagi-lagi aku merepotkan seorang kenalan di milis, bersama keluarganya kami bersantap siang di sebuah depot sambil mengobrol lepas tanpa topik yang pasti. Selepas makan, aku diantar ke bandara walaupun masih kepagian, namun cukup sudah kerepotan yang telah kutimbulkan. Ternyata ada baiknya juga, karena jadwalku bisa dimajukan untuk mengisi kekosongan pesawat yang akan terbang pada jam tersebut. So, here i am… di dalam pesawat duduk di depan sendiri… yang setara dengan kelas bisnis, terbang kembali ke pulau Dewata untuk melanjutkan kembali rutinitasku.
Lewat perjalananku kali ini ada banyak hal yang kupelajari, hikmah yang kuperoleh dan kebaikan yang kudapat. Semuanya lewat orang-orang di sekitarku yang begitu baik padaku, baik yang telah kukenal lama, maupun orang yang baru kukenal beberapa menit. Hanya lewat doa kupanjatkan demi semua hal yang telah kuterima dari mereka semua. Terima kasih buat segenap gadgeter yang berkenan hadir di Senayan City (specially bos Sentot yang telah meng-organize), buat Sihombing family yang telah menerima saya layaknya keluarga, buat pak Bambang dan ibu Naumi (serta kedua junior yang lucu) yang telah men-traktir plus mengantar saya ke bandara, dan tak lupa kupanjatkan doaku untuk “little bunny” agar happy ever after.
Di dalam pesawat Boeing 737-400 Flight No. KI0334,
JN. Rony
20061008
Manusia akan berubah, begitu kata seorang teman mayaku. Berawal dari diskusi tentang perilaku kawin-cerai artis/pejabat yang lagi hangat diberitakan di infotainment di tivi, sampailah pada kesimpulan tersebut. Well… ada benarnya juga sich. Tinggal masalahnya perubahan menuju ke arah yang lebih baik atau buruk? Malam ini aku berusaha untuk memecahkan pertanyaan itu. Selagi hawa panas kembali menyerang kota Denpasar diselingi dengan hujan pertama setelah sekian lama kota ini kering, itupun langit terkesan setengah hati mencurahkan airnya ke bumi. Entah berapa suhu malam ini, yang jelas tubuhku sangat berkeringat walaupun kipas anginku terus berputar berusaha mendinginkan hawa dalam kamarku.
Bila kucoba membuka catatan perjalananku, tak terasa hampir setahun aku mulai “bermasalah” dengan kehidupanku secara pribadi. Lebaran tahun 2005 adalah saat dimana aku mengambil keputusan untuk berpisah dengan seseorang yang kusayangi. Keputusan yang mungkin berat dan menjadi sebuah kenyataan pahit yang harus kuhadapi. Seseorang yang saat itu kuharapkan bisa menjadi orang yang mengerti dan mempercayai aku. Namun, dugaanku salah. Semuanya harus berakhir dengan kekecewaan yang teramat dalam. Aku mencoba untuk tegar dan tak menangis, namun hatiku tak kuasa untuk menahan pedihnya dikhianati dan dikecewakan. Saat itu aku kehilangan arah dan tujuanku, bahkan tensiku pun naik seiring dengan emosiku yang kerap meluap karena alasan sepele.
Manusia akan berubah, aku pun berubah karena peristiwa itu. Aku pun kembali mengucilkan diri dari beberapa komunitas, aku berusaha keras untuk bisa melupakan sumber kepahitanku tersebut. Seorang temanku menegurku bahwa aku terlalu melankolis, bahkan terlalu ekstrim, suatu hal yang tak bisa kupungkiri. Aku adalah pribadi yang tak ingin disakiti, begitu rentannya saat perasaan terluka teramat dalam. Segala upaya kulakukan untuk bangkit kembali, banyak alasan kucoba ungkapkan untuk menguatkan diriku. Namun, malam ini… aku menyadarinya bahwa aku belum berhasil melupakan yang telah terjadi. Ketergantunganku begitu kuatnya sehingga seringkali aku malu pada diriku sendiri. Entah harus dengan cara apa lagi aku bisa terbebas dari dosa yang menempel padaku ini…
Cinta, apakah sebenarnya cinta itu? Jika 2 manusia harus bersatu atas nama cinta, mengapa masih saja ada alasan untuk meragukan cinta, mengkhianati cinta, dan memisahkan cinta? Mungkin aku termasuk golongan mereka yang mempercayai sebuah kehidupan dongeng Romeo dan Juliet, sebuah kisah percintaan abadi yang berakhir dengan hidup bahagia selama-lamanya. Mungkin aku termasuk pula dalam golongan mereka yang percaya pada cinta pandangan pertama, cinta sejati, dan cinta-cinta seperti dalam sebuah kisah roman picisan. Bagaimanapun juga aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa bagiku cinta adalah sebuah rasa yang berdasarkan pada kepercayaan dan komitmen. Bila tak lagi saling percaya, bagaimana bisa menyebut diri mencintai? Well… manusia berubah.
Malam telah berubah menjadi pagi buta. Tak lama lagi gema sahur akan dikumandangkan, walau mungkin tak sekeras saat ku tinggal di Jawa. Aku masih tak bisa menghentikan putaran otakku apalagi memejamkan mataku. Aku menyadari bahwa aku telah berubah lebih buruk dan perubahan itu sedikit demi sedikit telah menggerogoti aku. Aku sadar aku tak bisa terus bertahan seperti ini. Aku sadar aku harus menghadapi buah yang dihasilkan dari pohon masa laluku. Entah apakah aku bisa, aku tak tahu… yang kutahu adalah aku tak boleh menyerah!
Entahlah… apapun hasilnya, aku harus tetap berjuang… sampai nanti, sampai mati…
JN. Rony
20061002
“Kalau kau pernah takut mati, sama…” — Letto