27 Jul 2003 @ 5:39 PM 

Di almari buku di sebelah layar monitorku yang berbadan bongsor tergeletak sebiji peluru tajam sepanjang kurang lebih 5,5 cm yang baru kudapatkan tadi siang. Peluru itu adalah hasil otopsi dari ban mobil yang kemarin kukendarai pulang sehabis mengantar seorang adik ke airport Juanda untuk terbang menuju benua kangguru. Siang itu memang diriku sedang mendung hati… sepanjang hari diriku diwarnai oleh banyak masalah dan pikiran. Sehabis dari Juanda aku memang tidak langsung memulangkan mobil, melainkan mampir dulu di McD Basuki Rahmat sekedar untuk mengisi perut yang sebetulnya tidak kosong. Namun aku kasihan pada rombongan yang kubawa yang belum makan siang. Sewaktu di McD, baru pertama kalinya aku merasa mual saat memakan fast-food kesukaanku selama ini… entah kenapa, mungkin karena aku stress…

Sehabis makan, aku pun berencana untuk langsung memulangkan mobil ke daerah Kenjeran. Baru saja aku meninggalkan lokasi McD kurang lebih 200 meter… tahu-tahu di depan gedung Grahadi aku diperingatkan oleh seorang pengendara motor yang memberi isyarat bahwa banku gembos… Saat ini aku sedang berada di tengah jalan ramai. Dengan perasaan heran, aku meminggirkan mobil, namun aku jadi teringat kasus-kasus penembakan ban yang pernah menimpa beberapa orang yang kukenal. Aku pun berusaha mencari keramaian dan akhirnya kuputuskan untuk berhenti di depan sebuah SMU di sebelah Balai Pemuda. Saat itu kulihat kondisi ban… parah banget… udara yang ada, habis-bis… Hmmm… kerja bakti nich kupikir… padahal aku baru makan… sial bener πŸ™

Akhir kuputuskan untuk membagi tugas di antara kami, 1 orang di mobil dan kuberi warning jangan keluar untuk melihat-lihat, awasi mobil dari dalam dan satu orang lainnya membantu aku mengganti ban, saat itu memang kami hanya bertiga. Selang beberapa saat, ban berhasil kami ganti (walau hampir saja terjadi kecelakaan kecil karena salah pasang dongkrak πŸ™‚ dan aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan lega karena ketakutanku tidak terbukti… dan aku pun berpesan agar empunya mobil memberitahu sopir untuk menambalkan ban yang bocor itu.

Sabtu kemarin, aku mendapat sms dari pemilik mobil yang mengatakan bahwa bannya itu ditembak orang. Pikiranku saat itu pun teringat pada “pistol” untuk memasang “paku keling” pintu yang kerap dipakai orang untuk menembak ban mobil… dan aku pun bersyukur bahwa saat itu tidak terjadi sesuatu… Namun, aku begitu kagetnya saat tadi siang aku diberi “barang” hasil otopsi ban yang ternyata sebuah peluru tajam. Wah! Aku benar-benar lebih bersyukur lagi bahwa saat itu tidak terjadi sesuatu pada kami, mengingat tembak yang dipakai ini sepertinya senjata beneran… dari pelurunya sich mirip pelurunya pistol koboi atau senapan laras panjang yang dipakai para sniper di film-film. Bila memang peluru yang bersarang di ban itu benar-benar ditembakkan dari sebuah pistol, bukankah artinya pelakunya sudah nekat? Hmmm… kejahatan semakin menjadi saja… dan aku sungguh bersyukur Tuhan masih mau melindungi aku…

Bagi mereka yang membawa mobil, kalau boleh aku ingin berbagi sedikit tips untuk mengatasi kejahatan penembakan ban mobil, sbb:
– Bila diperingatkan orang di tengah jalan bahwa ban mobilnya bocor… waspadalah! Carilah tempat keramaian untuk berhenti, JANGAN pernah berhenti di tempat sepi/gelap. Mending kendarai terus dan relakan ban mobil Anda hancur daripada terjadi sesuatu pada Anda.
– Bila wanita dan sendirian, jangan keluar dari mobil, melainkan kalau bisa telpon rekan Anda yang bermukim di daerah sana untuk dimintai bantuan. Kalau perlu telepon polisi setempat (dari HP bisa dial 112).
– Saat mengganti ban, tugaskan seorang atau lebih untuk tetap berada di dalam mobil dan kunci semua pintu dan hanya buka bila diperlukan. Jangan pernah merasa sungkan pada orang yang mengganti ban (karena tidak kerja), begitu juga yang mengganti ban gak perlu ngambek (karena gak dibantu). Ini demi kebaikan bersama.

Dari beberapa pengalaman yang ada (baik dari keluarga maupun dari teman), ada beberapa tipe “penembak” ban mobil ini, yaitu saat pemilik mobil lengah karena sibuk mengganti ban atau hanya sekedar memperhatikan/membantu yang mengganti ban, di penembak akan langsung mendatangi sisi mobil satunya dan membuka pintu dan mengambil tas/dompet yang ada di dalam mobil. Perbuatan ini hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 menit. Ada juga tipe “penembak” yang pantang menyerah, yaitu bila melihat korbannya “selamat” saat mengganti ban (terutama bila wanita dan sendirian), maka dia akan menembak lagi ban mobil lainnya. Dan yang lebih seram… ada tipe “penembak” yang nekat dan berani mati… yaitu saat pemilik mobil keluar untuk melihat/mengganti ban, langsung saja disamperin dan ditodong atau dirampas barang berharganya.

So… waspadalah akan kejahatan di sekitar kita dan selalu ingat ama Yang Di Atas…

Thank’s God,

JN. Rony
20030727
yang bisa saja kehilangan gadget tercinta

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal
 24 Jul 2003 @ 5:36 PM 

Hari ini seorang adik tersayang pergi meninggalkan kota tercinta ini untuk meneruskan sekolahnya di benua tetangga, Australia. Persiapan keberangkata untuk meneruskan study awalnya cukup mepet, mulai dari mendaftar di sekolah tujuan, test IELTS sampai pengurusan Visa. Agaknya karena waktu yang terlalu mepet inilah, akhirnya keberangkatan yang seharusnya terjadwal minggu lalu jadi tertunda. Dan hari inilah saatnya perpisahannya dengan kami yang ada di kota tercinta ini.

Sebelum berpisah, kami beberapa kali mengadakan acara bersama, entah itu hash atau makan. Begitu pula dia, mengadakan acara kumpul-kumpul bersama teman-teman sekelasnya, entah itu menginap bersama di sebuah villa di Tretes atau jalan-jalan santai di mall. Namun, yang namanya akan berpisah tentunya perasaan kangen atau takut untuk berpisah itu selalu ada, sehingga seberapa pun seringnya bersenang-senang tapi tetap saja kurang dan perasaan sedih selalu ada.

Panasnya siang hari di kota Surabaya seolah tak dirasakan lagi saat kami bersama mengantar ke airport Juanda. Bersama pula dengan teman-teman sekelasnya dulu, terdengar tawa canda yang mewarnai suasana terminal keberangkatan domestik di Juanda. Sedianya si adik akan berangkat transit dahulu di Bali dan baru melanjutkan ke Australia malam harinya. Setelah mengurus segala sesuatunya untuk cek-in, kami sempat berfoto bersama dan bersiap untuk mengantar ke gerbang pemberangkatan. Saat itu terjadi sedikit tangis perpisahan di antara kami.Yah, sebuah suasana yang selalu ingin aku hindari (tapi tak bisa) saat mengantar seseorang ke airport. Dalam hatiku sendiri pun ingin menangis tapi tak bisa. Saat kami di gerbang pemberangkatan, sekali lagi terjadi salam perpisahan disertai dengan pengumpulan tanda tangan di selembar uang seribu rupiah sebagai kenang-kenangan untuknya. Di sela-sela salam perpisahan, terucap kalimat yang sungguh menggugah aku, “Jangan lupakan Indonesia ya!”

Ya! Kalimat ini sungguh menggugah aku. Aku sungguh kagum pada si anak yang mengatakan itu, walaupun aku tak tahu pasti siapa yang mengucapkan itu. Mungkin kalimat itu terasa biasa saja, “Jangan lupakan Indonesia”, siapapun pasti tidak akan lupa bukan? Apalagi kalau ini adalah tanah kelahirannya. Namun, aku sadar bahwa seringkali “Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan untuk diingat bagi sebagian orang. Banyak yang tidak suka lagi mengingat Indonesia setelah dia ke luar negeri. Memang, “Indonesia” punya kenangan pahit di sebagian besar (atau semua?) rakyatnya. Bagi mereka yang sempat mengalami peristiwa pahit sepanjang 6 tahun terakhir ini mungkin bisa kumaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau mungkin mereka yang notabene menyandang gelar “keturunan cina” atau yang kerapkali dipanggil “cino singkek” dan yang sering dipersulit bila mengurus akte kelahiran, ktp, dsb. juga bisa dimaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau masih banyak sekali alasan yang bisa membuat kita jadi benci “Indonesia”.

Sebagai orang Indonesia, aku bukanlah orang yang terlalu nasionalis. Aku hanya menempatkan diriku sebagai orang yang hidup, bernapas, dan menimba pengalaman di bumi Indonesia. Peristiwa manis dan pahit aku peroleh di sini. Aku sadari, aku pun benci Indonesia. Tapi apakah aku harus melupakan Indonesia? Aku tahu itu tidak mungkin. Indonesialah yang membentuk aku. Begitu banyak kenangan yang terpendam di sini. Yah, mungkin aku memang belum beruntung untuk bisa merasakan enaknya hidup di negeri orang seperti yang diceritakan oleh banyak teman. Betapa bebas dan teraturnya kehidupan di luar Indonesia. Bahkan seringkali “Indonesia” digambarkan sebagai dunia yang kacau balau dan seakan penuh dengan kebusukan. Bahkan ada yang menggambarkan “Indonesia” sebagai neraka dunia yang patut untuk ditinggalkan. Namun, entah kenapa “Indonesia” selalu mendapat tempat di hatiku.

Beberapa minggu yang lalu, aku terpesona oleh seorang teman yang mudik dari Jepang dan membawa serta calon istrinya yang orang asli Jepang. Dari cerita yang kudengar, si gadis Jepang ini menyelesaikan studynya tentang Indonesia dengan mengambil objek Bali. Praktis, dia harus menguasai bahasa Indonesia (walaupun hanya sepotong-sepotong) dan hebatnya, dia sering meluangkan waktunya ke Bali. Bayangkan, demi thesis (skripsi) dibela-belain dech traveling Jepang-Bali. Lalu, beberapa waktu yang lalu kubaca pula di koran tentang beberapa relawan asal Amerika, Inggris, Australia dan beberapa negara lainnya yang memutuskan diri untuk langsung terbang ke Bali pasca kejadian Bom Bali yang tragis itu. Alasan mereka hanya singkat, yaitu mereka punya kenangan di Bali, atau ada juga yang mengatakan Bali sudah seperti tanah kelahiran kedua baginya. Aku jadi berpikir, bila orang asing saja mengingat begitu dalam tentang “Indonesia”, lalu kenapa aku harus melupakannya? Semoga aku tak pernah lupa akan Indonesia… seperti lagu sebuah iklan rokok, “I love blue of Indonesia…”

Lambaian tangan kami semua mengiringi keberangkatan si adik menuju tangga pesawat. Aku pun berjalan menuju parkiran dengan diam seribu bahasa. Sedih? Memang… tapi kuiringi kepergian sang adik dengan doa agar berhasil di tanah seberang… dan tentunya dengan harapan: “Jangan lupakan Indonesia ya!”

Siang hari ini berjalan begitu lambat… kusetir mobil dengan kecepatan standar dalam kota sambil mengingat kenangan manis saat kami masih bersama…
Oleh seorang teman, aku dikirimi lagu: “I’m livin’ on a jet plane, don’t know when I’ll be back again. O babe, I hate to go…”

Goodbye dear sis,

JN. Rony
20030724
To Poy, wish you luck and sucsses!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 20 Jul 2003 @ 5:34 PM 

Perkenalanku dengan A’i (kalo gak ngerti, artinya tante πŸ™‚ satu ini bisa dibilang biasa-biasa saja. Kebetulan dia adalah ibu seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa, karena temanku ini memutuskan untuk studi di benua seberang lautan. Dimulai dari waktu temanku mudik sambil menunggu ijin kerja dan menetap turun dari kedutaan. Sepintas, si A’i ya seperti para ibu lainnya, nothing special. Dan waktu pun terus berjalan…

Lewat banyak aktivitas dan pertemuan, aku semakin mengenal lebih dalam keluarga ini. Mungkin yang kuketahui hanya seper-sekian persen, namun bagiku cukup memberiku inspirasi untuk merenungkan lebih dalam akan pengorbanan yang dilakukan seorang ibu. Lewat cerita demi cerita yang aku dapat secara sukarela (aku tidak pernah mengorek karena aku bukan termasuk orang yang mau tahu urusan orang lain :), aku tahu bahwa mama temanku adalah seorang vegetarian, bahkan boleh dibiang vegetarian sejati. Aku lupa berapa lama tepatnya dia menjadi vegetarian, tapi kira-kira sudah 20 tahun lebih. Penyebabnya kurasa tidak perlu diceritakan, sebab itu hak masing-masing pribadi bukan?

Proses menjadi seorang vegetarian kurasa tidaklah mudah. Menurut cerita-cerita dari beberapa teman yang punya pengalaman dengan keluarga yang punya anggota keluarga (terutama ibu sebagai kepala dapur) yang vegetarian, yang sering menjadi korban adalah anggota keluarga yang tidak vegetarian. Mengapa? Sebab praktis makanan yang dimasak setiap hari “agak jauh” dari bau daging. Praktis, hal ini terkesan seperti “memaksakan” vegetarianisme-nya ke anggota keluarga yang lain. Beda dengan keluarga temanku ini, si ibu tetap memasak masakan-masakan yang biasa dinikmati keluarga “omnivora” pada umumnya. Aku yakin pasti ada yang berkata dalam hati, “ach… ya kalau sudah biasa vegetarian, tentu tidak jadi masalah” πŸ™‚ Pernah juga di suatu kesempatan ada seseorang (yang bukan vegetarian tapi berkata seolah sok mengerti rasanya jadi vegetarian) berkata, “kalo mau jadi vegetarian itu harus benar-benar makan sayur-mayur, bukannya malah makan di restoran vegetarian, itu namanya menipu diri, nanti mudah tergoda.” Tapi sewaktu aku mencoba untuk merenungkan lebih jauh, susah sekali lho untuk bisa senantiasa menahan diri untuk tetap pada komitmen yang telah kita buat, apalagi ini soal “kedagingan” tubuh kita. Hal yang paling membuatku tertegun dan jadi merasa tidak enak adalah di setiap kali kami bepergian dan makan bersama, si A’i tidak ambil pusing mau makan dimana, asalkan orang-orang yang bersamanya bisa makan enak. Permintaannya pun tidak banyak, hanya bertanya kira-kira di sana (tempat makan) ada sayur-mayur gak ya? Kalau diperkirakan tidak ada, si A’i lebih banyak “membungkus” sendiri makanan pribadinya dari rumah. Jadi, di saat kami makan enak ala restoran… si A’i makan makanan “biasa ala rumah” atau kalau bisa memesan sayur yang dimasak ala vegetarian. Bahkan yang lebih membuatku tercengang adalah kerelaan si A’i untuk mengupaskan makanan daging (entah udang, kepiting, ikan, dsb.) yang keras untuk diberikan pada anaknya. Hmmm… sebuah situasi yang membuat selera makanku jadi berkurang πŸ™

Dari hari demi hari lewat pertemanan yang kulalui bersama si A’i ini membuatku merenungkan kembali kehidupan imanku sebagai seorang Katolik. Gereja selama ini tidaklah “neko-neko” (aneh-aneh) dalam menerapkan aturan pantang dan puasa. Gereja juga tidaklah mengeluarkan aturan keras untuk berpantang dan berpuasa. Tapi aku seringkali mengeluhkan “aturan” yang begitu ringan. Bila mau dibandingkan dengan puasa dan pantang yang dijalankan oleh Yesus sendiri pada saat di padang gurun selama 40 hari 40 malam lamanya, aturan Gereja saat ini sudah sangat ringan. Aku coba membayangkan selama aku menjadi Katolik dan harus melewati masa puasa-pantang selama pekan Suci, sangatlah susah. Padahal aku hanya perlu menyisihkan 1 hari saja dalam seminggu untuk berpantang daging, tapi toh berkali-kali aku sering tidak tahan godaan.

Pertemananku dengan si A’i tidak saja membuka mataku tentang artinya sebuah pengorbanan diri dalam menahan hawa nafsu kedagingan, melainkan juga sebuah bukti nyata pelayanan dan pengabdian dengan penuh kasih dari seorang ibu kepada keluarganya. Kini pertanyaan kembali ditujukan pada diriku, sanggupkah aku mencontoh si A’i dan menerapkannya pada kehidupanku? Sanggupkah aku menahan emosi bila dicemooh orang lain? Sanggupkah aku melayani sesama dengan penuh kerendahan hati? Sanggupkah…??? Begitu banyak pertanyaan dalam hatiku…

Dalam kasihNya,

JN. Rony
20030720
Thx to B, u have special mom!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.