Dear all,
Kalo daku membaca Jawa Pos terbitan hari Kamis, 20 Februari 2003 (http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=19000) di bagian Metropolis – Kriminal… daku sangat bersyukur ama Tuhan atas perlindungan-Nya padaku…
Terus terang, daku hampir jadi salah satu “korban” PT fiktif ini… ceritanya gini:
Pas hari Jumat, 7 Februari lalu, rumahku tiba-tiba didatangi ama orang yang mengaku bernama Dicky Pramana yang mau mencari aku untuk urusan pembelian komputer baru. Berhubung aku sedang tidak berada di tempat, so dia meninggalkan kartu namanya dan minta untuk dihubungi. Pas aku pulang, langsung saja kuhubungi person tersebut dan intinya mereka ingin membeli 6 unit komputer plus printer baru dengan total transaksi sekitar 60 juta lebih. Mereka mengaku bergerak di bidang General Trade – Contractor – Supplier dan katanya barang-barang tersebut akan digunakan pemda di Balikpapan. Kesokan paginya, aku kirim fax penawaran resmi ke tempat mereka dan tak lama kemudian, mereka langsung kontak balik dan intinya setuju. Waktu kutanyakan, dari mana mereka tahu toko-ku ini yang notabene masih berupa rumahan (gak pasang plang sama sekali), dijawab bahwa mereka diberitahu oleh salah seorang kurir dari dealer yang biasa kupakai. Nah, berhubung permintaan mereka termasuk golongan “duit gede” maka aku pun sempat bertanya-tanya pada beberapa temen dan minta pertimbangan soal pembayaran, karena mereka minta komputer diantar hari Kamis, 13 Februari dan sedianya aku dibayar dengan giro pada hari Senin, 17 Februari.
Pada hari Sabtu siang, aku minta mereka untuk datang dan sedianya mereka mau menyerahkan PO (Purchase Order) untuk kutanda-tangani. Namun, berhubung lama sekali gak datang-datang, maka aku pun memutuskan untuk pergi ke kustomer dan kupikir biar nanti PO-nya ditinggal dan bisa kubaca ulang (dan aku sangat bersyukur aku pergi!). Malamnya, pas aku pulang dan membaca PO-nya… hmmm… keren juga, PO mereka dalam bentuk cetakan resmi. Namun setelah kubaca ulang, memang yang mengganjal hati adalah soal payment-nya yang tertulis: 3 days after delivery (BG). Wah, berabe juga nich… barang segitu gede, gue gak kenal… utang 3 hari. Perasaan gak enak juga muncul saat gue iseng-iseng muterin mobil di depan “kantor” mereka di gang sebelah rumahku yang menurutku tidak seperti kantor kontraktor (sebab aku punya klien kontraktor). Lalu pada hari Minggu malam, aku telpon orang yang bernama Dicky Pramana ini dan minta kejelasan soal pembayaran. Menurut dia, mereka biasanya menggunakan sistem itu. Tapi aku tetap ngeyel bahwa khan ini baru pertama kali ber-transaksi. Dimana-mana, transaksi pertama selalu dimulai dengan Down Payment 20% (atau tergantung nego) dan diakhiri dengan Cash On Delivery. Bila memang nantinya bisa terbina hubungan baik, barulah kita bisa kasih kelonggaran untuk pembayaran mundur. Namun, Dicky ini juga ngeyel bahwa aturan di perusahaan mereka begitu dan setuju untuk kasih DP 20%, namun pembayarannya minta mundur seminggu. Akhirnya karena tidak ada kata sepakat, maka pembicaraan diakhir dengan kalimat: “ya sudah, kalau begitu tidak jadi saja”.
Nah, di samping itu, aku juga diberi tahu bahwa kantor PT Multinugraha Kencana ini adalah rumah kontrakan. Dan pada hari Seninnya, aku pun semakin penasaran dan mengecek ke suplierku. Dan menurut mereka bahwa mereka TIDAK PERNAH jual ke kustomer langsung dan mereka juga TIDAK KENAL dengan PT MK ini dan TIDAK PERNAH mengirim barang ke komplek-ku ini. Oh, thank’s God! Yah, waktu itu aku sich ada rasa ragu juga… ini PT apa… tapi biarin dech… toh udah batal ya kulupain aja… apalagi waktu itu kerjaanku juga gak kalah banyak, sehingga kalau pun terjadi deal, aku gak yakin bisa menyelesaikan pesanan pada hari Kamis itu.
Lha kok… tahu-tahu hari Kamis di koran nongol berita gembira sekaligus berita dukacita buatku… gembira karena aku bersyukur banget ama My Father in Heaven atas perhatian-Nya ama aku, atas perlindungan-Nya ama aku, sehingga aku, umat-Nya yang ndablek ini masih bisa diberi perlindungan dari si jahat. Sedangkan aku sekaligus sedih karena ada rekan-rekan sesama pedagang yang lain yang tertipu sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, di antaranya adalah tetanggaku sendiri yang berjualan voucher π Sungguh aku benar-benar sedih, kenapa kok orang sampai tega melakukan hal penipuan sekeji ini. Aku gak bisa bayangin bagaimana mereka yang tertipu menutup kerugian yang segitu gede…
Kalau mau melihat “aksi” PT fiktif ini, mereka terlihat sangatlah profesional. Mengapa begitu? Sebab:
1. Mereka bisa tahu “toko-toko kecil” yang ada di komplek perumahan walaupun tidak memasang papan nama. Itu artinya, mereka sempat melakukan survey.
2. Mereka mencetak kartu nama, kop surat, amplop, stempel, dsb. yang membuat mereka jadi “terlihat” resmi, termasuk membuka rekening giro di Bank BII.
3. Mereka “mendekorasi” kantor mereka dengan banyak orang dan membuat seakan-akan kantor itu benar-benar hidup.
4. Mereka memiliki gaya bicara dan penampilan yang meyakinkan. Tak heran kalau sampai ada yang tertipu. Aku aja nyaris!
5. Mereka cukup menguasai barang-barang yang akan mereka pesan. Terbukti perangkat komputer yang akan mereka pesan semuanya menggunakan spesifikasi yang maksimal.
6. Dalam PO, mereka cenderung menggunakan bahasa Inggris yang membuat seakan-akan PT mereka ini punya kelas.
7. Mereka memilih perumahan sebagai sarang mereka.
8. Mereka berani mengeluarkan sejumlah uang (untuk DP) agar kelihatan meyakinkan.
9. Mereka memesan begitu banyak barang dari beberapa tempat dalam waktu yang sama dan semuanya dibayar dengan BG pada hari yang sama (Senin, 17 Februari 2003). Pengiriman barang pun saya rasa mereka juga minta pada hari yang sama, yaitu antara Senin sampai Kamis, sehingga kemungkinan besar pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu bisa mereka pakai untuk berkemas-kemas. Melihat sejumlah jenis barang yang dipesan (AC dan komputer), kelihatannya mereka pun punya armada yang memadai (mobil box, dan semacamnya) untuk memindahkan barang-barang tersebut tanpa ketahuan oleh tetangga sekitar.
10. Seperti yang dilansir oleh koran JP, bahwa mereka “mungkin” menggunakan “gendam”. Namun aku menyangsikan hal itu, sebab menurutku itu hanya karena penampilan mereka aja yang begitu meyakinkan para penjual yang bertemu muka dengan mereka, sedangkan aku khan tidak… jadi ya gak ngefek.
Mungkin masih banyak ke-profesional-an mereka yang dipakai untuk menipu kanan-kiri, mengingat ada korban yang berlabel PT juga. Itu artinya skill mereka dalam urusan tipu-menipu patut diajungi jempol, sayangnya jempol yang dipake itu harusnya jempol kambing!
Namun dari sekian banyak kelebihan mereka… mereka lupa akan satu hal… yaitu ada “mata” yang mengawasi mereka dari Atas sana… dan aku berdoa bagi para korban yang tertipu, semoga mereka diberi jalan terang. Biarlah Allah yang akan membalaskan semua perbuatan para penipu ini menurut hukum-Nya. Aku percaya bahwa tiap perbuatan akan mempunyai akibat bagi sang pelaku. Tiap kebaikan akan berbuah kebahagiaan dan tiap kejahatan akan berbuah kemalangan.
Yang jelas… AKU SANGAT BERYUKUR! Thank’s God! Thank’s Jesus!
Ini adalah sebuah pelajaran berharga yang tak akan pernah kulupakan. Bagi rekan-rekan yang lain yang juga pedagang seperti saya, saya juga berharap agar berhati-hati dalam bertransaksi, apalagi kalau nilainya sampai puluhan juta rupiah. Ingat, dalam berdagang, tak ada istilahnya durian runtuh itu… jadi perlu waspada dengan pesanan yang jumlahnya menggiurkan dari orang yang tak dikenal. Mendingan dilepas saja, anggap itu bukan rejeki Anda. Jangan sampai demi keuntungan yang gak seberapa, tahu-tahu malah rugi besar. Yang terpenting adalah selalu ingat ama Tuhan, kalo perlu tanyakan ama Dia, apakah memang ini adalah pemberian-Nya? Saya percaya, bila memang ini pemberian dari Tuhan, jalan yang diberikan pastilah yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.
Jaman ini sudah semakin edan. Untuk hidup saja susah, sampai manusia tega “memakan” sesamanya. Masih mending Sumanto yang “hanya” memakan manusia yang sudah mati… tapi kalo manusia sampai “memakan” sesamanya yang masih hidup, dosanya akan berlipat ganda; mengingat manusia adalah citra Allah, perwujudan diri Allah di dunia.
Pada-Mu, TUHAN, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, bersegeralah melepaskan aku! Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku! Sebab Engkau bukit batuku dan pertahananku, dan oleh karena nama-Mu Engkau akan menuntun dan membimbing aku. Engkau akan mengeluarkan aku dari jaring yang dipasang orang terhadap aku, sebab Engkaulah tempat perlindunganku. Ke dalam tangan-Mulah kuserahkan nyawaku; Engkau membebaskan aku, ya TUHAN, Allah yang setia. Engkau benci kepada orang-orang yang memuja berhala yang sia-sia, tetapi aku percaya kepada TUHAN. Aku akan bersorak-sorak dan bersukacita karena kasih setia-Mu, sebab Engkau telah menilik sengsaraku, telah memperhatikan kesesakan jiwaku, dan tidak menyerahkan aku ke tangan musuh, tetapi menegakkan kakiku di tempat yang lapang. Kasihanilah aku, ya TUHAN, sebab aku merasa sesak; karena sakit hati mengidaplah mataku, meranalah jiwa dan tubuhku. Sebab hidupku habis dalam duka dan tahun-tahun umurku dalam keluh kesah; kekuatanku merosot karena sengsaraku, dan tulang-tulangku menjadi lemah. Di hadapan semua lawanku aku tercela, menakutkan bagi tetangga-tetanggaku, dan menjadi kekejutan bagi kenalan-kenalanku; mereka yang melihat aku di jalan lari dari padaku. Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati, telah menjadi seperti barang yang pecah. Sebab aku mendengar banyak orang berbisik-bisik, — ada kegentaran dari segala pihak! — mereka bersama-sama bermufakat mencelakakan aku, mereka bermaksud mencabut nyawaku. Tetapi aku, kepada-Mu aku percaya, ya TUHAN, aku berkata: “Engkaulah Allahku!” Masa hidupku ada dalam tangan-Mu, lepaskanlah aku dari tangan musuh-musuhku dan orang-orang yang mengejar aku! Buatlah wajah-Mu bercahaya atas hamba-Mu, selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu! TUHAN, janganlah membiarkan aku mendapat malu, sebab aku berseru kepada-Mu; biarlah orang-orang fasik mendapat malu dan turun ke dunia orang mati dan bungkam. Biarlah bibir dusta menjadi kelu, yang mencaci maki orang benar dengan kecongkakan dan penghinaan! Alangkah limpahnya kebaikan-Mu yang telah Kausimpan bagi orang yang takut akan Engkau, yang telah Kaulakukan bagi orang yang berlindung pada-Mu, di hadapan manusia! Engkau menyembunyikan mereka dalam naungan wajah-Mu terhadap persekongkolan orang-orang; Engkau melindungi mereka dalam pondok terhadap perbantahan lidah. Terpujilah TUHAN, sebab kasih setia-Nya ditunjukkan-Nya kepadaku dengan ajaib pada waktu kesesakan! Aku menyangka dalam kebingunganku: “Aku telah terbuang dari hadapan mata-Mu.” Tetapi sesungguhnya Engkau mendengarkan suara permohonanku, ketika aku berteriak kepada-Mu minta tolong. Kasihilah TUHAN, hai semua orang yang dikasihi-Nya! TUHAN menjaga orang-orang yang setiawan, tetapi orang-orang yang berbuat congkak diganjar-Nya dengan tidak tanggung-tanggung. Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu, hai semua orang yang berharap kepada TUHAN – Mazmur 31
Dalam doa,
JN. Rony
20030221
yang sedang berkabung
Mungkin cita-citaku ini termasuk cita-cita dari seorang anak cina SMA yang sudah kurang waras. Bagaimana tidak, saat akan lulus SMA, masa-masa dimana segala kesenangan akan datang menghampiriku, yang terpikir malah apakah bisa aku jadi seorang pastor? Apalagi saat itu aku masih belum dibaptis! Nah lho! Bahkan seorang guruku sampai tertawa mendengar penuturanku yang super duper lugu itu.
Tentunya semua itu bukannya tanpa alasan. Aku mengenal Katolik semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Ya, karena semenjak TK sampai lulus SMA, aku bersekolah di lingkungan sekolah Katolik yang bergengsi di kotaku ini. Apalagi saudara sepupuku mayoritas Katolik, kecuali keluargaku. Aku mulai “di-injil-i” tentang Kitab Suci dan segala isinya semenjak kelas 4 SD oleh seorang sebayaku (dan kabarnya kini ia telah menjadi seorang penginjil yang cukup sukses di Amerika). Cukup lama aku bergelut dengan hatiku sendiri sampai aku memutuskan untuk ikut pelajaran agama (katekumen) pada kelas 2 SMP. Bukannya tanpa halangan dan rintangan dalam pelajaran agama ini, ternyata baru 6 tahun kemudian, saat aku telah kuliah, baru aku berhasil dibaptis, sekaligus menerima sakramen krisma. Semuanya berawal dari sebuah retret yang cukup digandrungi anak muda saat itu, yaitu camping rohani di Pertapaan Karmel. Atas bujuk rayu seorang teman, aku memutuskan untuk memangkas liburan sekolahku demi ikut retret selama seminggu tersebut. Ternyata suasana camping begitu memukauku sehingga di tahun-tahun mendatang aku masih menyempatkan diri untuk ikut selama 6 kali berturut-turut.
Sebagai seorang anak muda yang begitu menggebu-gebu, istilah kerennya telah menerima curahan roh kudus, aku begitu semangat untuk ikut katekumen dan mulai gemar membeli dan membaca buku rohani. Saat itu buku rohani kegemaranku adalah katekismus singkat dan buku karangan Romo Pidyarto (Mempertanggungjawabkan Iman Katolik). Hampir-hampir aku menghapalkan isinya π Ditambah lagi, saat itu aku begitu terobsesi oleh 2 orang pastor, sebut saja pastor Y dan pastor E. Pastor Y begitu memukau melalui kharismanya dan pastor E adalah pastor yang saat itu cukup digandrungi di paroki karena lucu. Lewat kedua orang ini aku melihat betapa indahnya dan enaknya jadi seorang pastor. Gila khan?
Seiring dengan waktu, keinginan untuk jadi pastor tak kesampaian itu sempat memudar, terutama di masa-masa kuliah, masa yang penuh dengan tantangan dan kesibukan. Namun, lewat sebuah komunitas yang aku ikuti, aku teringat kembali pada “panggilanku” (kalau bisa disebut demikian) untuk jadi pastor. Tak terhitung berapa orang kuajak berbicara tentang ini dan tetap saja membuatku bimbang, sampai aku berkenalan dengan beberapa orang pastor yang menjadi motivatorku, salah satunya adalah pastor H. Lewat beliau, aku disarankan untuk mengadakan retret pribadi di sebuah biara, dan meminta pada seorang pater disana untuk membimbingku. Setelah berusaha meluangkan waktuku, aku nekat ke biara tersebut dan mengadakan retret pribadi untuk waktu yang belum ditentukan. Oleh pater tersebut (sebut saja pater V), aku tidak diijinkan menginap di biara dengan alasan terlalu ramai. Edan kupikir… biara aja masih dianggap terlalu ramai buatku… lalu aku menginap di rumah retret yang berada persis di belakang biara tersebut. Oleh pater V, ditunjuk frater A untuk mendampingi aku. Frater A ini kukenal saat camping di Tumpang, dan dia adalah seorang dokter gigi yang merelakan pekerjaannya untuk menjadi seorang biarawan. Retret pun dimulai dengan pekerjaan-pekerjaan sederhana, yaitu membaca 1 pasal buku “Mengikuti Jejak Kristus” (MJK) dan bermeditasi. Phew, 1 hari kulalui dengan 2 pekerjaan yang kelihatannya sederhana namun membuatku stress berat! Bagaimana tidak, dari suasana hingar-bingar kota, aku harus seorang diri berada dalam sebuah rumah retret yang mampu menampung 200 orang!
Pergulatan pun timbul, apalagi saat frater A mengajakku bersharing tentang niat panggilan tersebut… bagaimana dengan keluarga? Ya! Jujur saja aku punya masalah dengan keluarga (siapa sich yang tidak? π namun saat itu tiba-tiba timbul sebuah ketakutan untuk kehilangan… Lalu, muncul sebuah pertanyaan baru… apakah karena gagal dalam cinta? Wow! Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak terlintas dalam benakku… Bagaimana pula dengan pekerjaan? Study? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dari frater A yang memojokkanku, sampai akhirnya sampai pada pertanyaan akhir, apakah ini sebuah pelarian? Diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Frater A bercerita, bahwa pertanyaan-pertanyaan itulah yang dulu juga dikemukakan padanya saat ia memutuskan untuk masuk ke dalam biara tersebut. Siang itu kulalui dengan kepala hampir meledak penuh dengan pertanyaan dan ketakutan.
2 hari sudah, beban di benakku semakin besar dan aku semakin bimbang akan panggilanku ini. Apakah benar? Ataukah aku hanya melihat “kenikmatan maya” dalam sosok seorang pastor? Bukankah melayani sesama itu tidak harus menjadi pastor? Bukankah untuk hidup suci juga tidak harus menjadi pastor? Pater V adalah pater yang arif dan pintar (mungkin karena sering bertapa :), sehingga ia tidak memberiku banyak tugas. Cukup dengan membaca berulang-ulang 1 pasal dalam MJK, sanggup membuatku menjadi lebih bodoh dari seekor keledai yang lupa arah. Saat kudatang ke biara, aku penuh dengan kemantapan. Tapi pada hari ketiga, saat aku memutuskan untuk mengakhiri retret, aku pulang bagaikan prajurit yang kalah perang.
Sampai kini pun, “panggilanku” tersebut masih tetap menjadi misteri. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali aku sendiri. Namun, lewat beberapa pengalaman semenjak pulang dari retret pribadi tersebut, aku hanya berusaha untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jadi pastor atau tidak, bukanlah masalah. Masalah sesungguhnya adalah apakah kita siap menerima “panggilan” tersebut. Aku kemudian bercermin pada beberapa pastor yang kukenal, baik secara pribadi atau hanya sekedar tahu saja. Banyak pastor di kota ini yang terkesan hidup mewah. Maklum, kota besar… mau bagaimana lagi? Contoh singkat saja, ada pastor yang mau tak mau harus berkenalan dengan barang mewah dan canggih seperti handphone sampai pda, hanya karena diberi oleh umat. Apakah pemberian itu harus ditolak? Ataukah harus dibuang? Ada pula pastor makan enak setiap hari, namun semuanya itu berasal dari umat. Salah siapa? Tapi ada pula pastor yang “no reken” (tidak menganggap) walaupun kita bersikap sangat hormat untuk menyapanya. Sampai pernah kudengar ada pastor yang marah hanya karena keliru nulis nama dan gelarnya. Namun, bagiku semua itu adalah dunia nyata seorang pastor. Bukankah pastor juga seorang manusia seperti aku? Lalu mengapa aku harus menyalahkannya? Kenapa pula aku hanya melihat kejelekannya tanpa berusaha melihat kebaikan dalam dirinya? Pergulatanku dalam panggilan membuka mataku. Aktivitasku di komunitas menambah wawasanku. Aku jadi semakin mengerti seorang pastor walau tidak memahaminya. Pastor kadang hanya sebagai korban, korban dari segolongan umat yang ingin memanjakannya, serta korban dari segolongan umat yang hanya bisa menyalahkan tanpa mau tahu yang lain.
Banyak kali aku membaca pastor dikritik kanan-kiri. Borju dan mata duitan, sampai homo dan pemerkosa anak kecil. Entah benar, entah tidak, aku tidak berani untuk menghakimi. Kenapa? Karena tidak mudah menjadi seorang pastor! Dan aku mengalaminya! Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dan itu berasal dari diri sendiri. Bila seorang memutuskan untuk jadi pastor itu hanya karena haus harta dan kekuasaan, sungguh gila ia rela tidak kawin dan menjalani hidup di biara selama lebih dari 8 tahun! Aku tidak ingin membela para pastor, walaupun terkesan demikian. Aku hanya ingin memahami bahwa mereka seperti filmnya Wakop DKI yang terkenal, Maju Kena, Mundur Kena. Tidak semua kesalahan yang (mungkin) kita lihat adalah murni kesalahan dari pastor tersebut. Sebagai anak muda yang pernah bekerja selama setahun lebih di kamar seorang pastor, aku melihat banyak sekali peran dari umat yang menjengkelkan dan membuat pastor serba salah. Begitu banyak orangtua yang terlibat aktif di gereja, seakan-akan mendukung minggu panggilan… begitu banyak orangtua yang seakan-akan mendukung kehidupan membiara para pastor dan suster. Tapi aku tidak yakin bahwa 99% dari mereka akan RELA melepas anaknya untuk jadi pastor/suster.
Kini bisa kulihat, betapa susahnya menjadi seorang pastor. Pertama harus ada inisiatif dari diri sendiri, lalu harus menghadapi orangtua kita, sudah begitu belum tentu diterima oleh biara/seminari, kalaupun diterima masih harus hidup dalam biara/seminari selama bertahun-tahun yang artinya melepaskan semua kesenangan hidup dan segala macam harta benda, setelah itu masih harus menjalani praktek di pedalaman selama beberapa tahun. Setelah berhasil jadi pastor, masih harus “mbabu” di pedalaman lagi, syukur-syukur kalau malah dikirim study di luar negeri. Eeehhh, pas udah jadi pastor senior… masih harus tahan digodain ama umatnya. Kalau tahan, kadang malah dapat julukan mata duitan, kejam, dll… tapi kalau sampai “keplas” (keluar)… malah dicaci-maki dan dihina. Belum lagi ntar kalo udah tua bangka plus pensiun… phew… syukur-syukur kalau masih dibesuk ama umatnya. Yang terjadi malah, umat rame-rame membesuk hanya pas pengakuan dosa menjelang Natal dan Paskah, sampai-sampai pastor lain yang lebih muda, bisa menikmati ranjang pastoran lebih awal beberapa jam ketimbang pastor tua yang jalan saja harus dituntun ama suster. Hmmmm…. susah banget ya jadi pastor? Kadang aku aku bernostalgia, aku jadi ngeri… kenapa kok bisa-bisanya aku ingin jadi pastor? Mungkin aku lagi goblok-gobloknya…. khan mendingan jadi umat yang kerjaannya ngeritik para pastor? Bukankah itu lebih mudah?
Pastor memang bukan malaikat, namun bukan berarti pastor itu bertanduk dan berekor sambil bawa trisula… ada pastor yang baik dan ada pula pastor yang ndak baik. Namun dari yang ndak baik itu pun tidak semuanya karena kesalahan pribadi sang pastor. Aku jadi teringat beberapa minggu lalu saat aku akan bertugas dan koster menyerahkan secarik kertas berisi intensi misa pada pastor. Intensi itu tidak seperti biasanya berupa amplop, namun hanya secarik kertas alias gak ada duitnya! Dan tahu apa yang terjadi, malah seorang ibu yang juga bertugas nyeletuk, “Wes gitu thok? Gak onok duit’e?” (Udah, gitu aja? Tidak ada uangnya?) Nah!
NB: Aku pernah penasaran apakah Yudas Iskariot itu benar-benar bersalah telah mengkhianati Yesus? Dan aku telah menemukan jawabannya!
Dipersembahkan untuk keteguhan panggilan seorang pastor,
JN. Rony
20021010
yang gagal jadi pastor
Hari ini aku kembali menjadi saksi mata dari dua orang yang mengikatkan dirinya dalam sebuah ikatan seumur hidup, yaitu pernikahan. Memang bukan hanya kali ini saja aku menghadiri entah itu resepsi ataupun pemberkatan nikah teman-temanku, namun ada sebuah kisah yang entah mau dibilang mengharukan atau malah menyedihkan dalam janji seumur hidup kali ini.
2 orang yang hari ini sudah resmi menjadi suami-istri ini awalnya adalah 2 orang yang berasal dari keyakinan yang berbeda, walaupun 1 iman, yaitu iman akan Yesus. Si pria (sebut saja Sam) berasal dari keluarga sebuah gereja kristen protestan, sedangkan wanita (sebut saja Mary) berasal dari keluarga katolik. Keduanya adalah tergolong umat yang taat dan aktif di gereja dan rasanya tidak perlu disebutkan kegiatan masing-masing di gereja. Dalam sebuah perkenalan, keduanya kemudian saling menjalin hubungan dan bertambah akrab, sehingga keduanya memutuskan untuk berpacaran. Pada awal-awal mereka berpacaran, banyak tentangan atas hubungan mereka. Yang kutahu, kami (teman-teman sesama aktivis) sempat menghalang-halangi si Mary dengan alasan beda gereja. Setahuku juga, pihak keluarga Mary pun sempat tidak setuju, mengingat ayahnya adalah umat yang taat pula. Seiiring dengan waktu, yang aku yakin dengan pertimbangan yang berat pula, si Mary memutuskan untuk meninggalkan gereja katolik dan mengikuti agama Sam di gereja kristen. Hal itu ditandainya dengan mundurnya sebagai dirijen koor kami.
Awalnya kami merasa berat sekali menerima kenyataan ini. Bayangkan! Seorang aktivis gereja pindah ke gereja lain… tentunya sebuah hal yang sangat heboh di kalangan aktivis gereja. Namun, lambat laun kami pun harus belajar menerima dengan berusaha memahami dan menghargai keputusan Mary itu. Lewat seorang teman kost (yang aktif di karismatik), Mary pun mulai belajar mengenal lagu-lagu karismatik yang notabene “mirip” dengan lagu-lagu di gereja Sam. Radio kristen pun jadi santapannya tiap hari, saat pagi sesudah bangun tidur, dalam perjalanan di mobil, di kantor, di kamar mandi, sampai tiap malam sebelum tidur. Dia pun mulai belajar membaca Kitab Suci secara lebih intensif, sebuah hal yang saya rasa menjadi sebuah “keharusan” gereja kristen ketimbang gereja katolik. Segala hal mulai dia pelajari, semuanya hanya demi “mencocokkan” dirinya dengan Sam. Memang terkesan bodoh memang, namun seakan Mary tak lagi mendengarkan nasehat (atau mungkin celaan?) dari orang lain.
Setelah sekitar 2 tahun berlalu, Sam dan Mary pun membagi-bagikan undangan pernikahan mereka. Pemberkatan mereka dilakukan di gereja Sam, yang juga telah menjadi gereja Mary saat ini. Sebelum dan saat resepsi, terbesit dalam pikiranku, apakah selama ini aku terlalu menghakimi? Apakah selama ini aku telah berlagak berhak untuk membuatkan keputusan untuk Mary? Memang, hati ini masih berat menerima seorang teman seiman berpindah ke gereja lain, hanya gara-gara KAWIN! Namun, aku pun kemudian melihat sisi yang lain, yaitu sebuah DREAM COME TRUE! Mimpi Mary yang telah jadi kenyataan… yaitu bahwa pengorbanannya yang sebegitu besar tidaklah sia-sia, namun telah menjadi sebuah ikatan suci. Aku pun melihat bahwa Mary sekarang menjadi lebih rajin ikut persekutuan, lebih aktif ke gereja, lebih rajin berdoa, dsb. Apakah itu salah? Aku rasa, akulah yang selama ini salah menilai!
Ada yang bilang kalau cinta tak terbatasi oleh apapun…
Ada yang bilang kalau cinta itu adalah masalah rasa…
Bahkan ada lagu yang berkata, kalau sudah cinta, tai kucing pun jadi rasa coklat.
Tapi itulah cinta yang kata Celine Dion, The Power Of Love…
Kalau dulu aku bisa berbangga saat temanku menikah dengan seorang Islam di gereja katolik, kini aku pun masih akan berbangga dengan temanku yang rela berpindah gereja untuk menikah dengan seorang kristen. Kebanggaanku adalah pada ketegaran dan perjuangan Mary dalam menggapai cinta itu sendiri. Aku sungguh berbangga bahwa Mary berani mengambil keputusan yang berat. Aku tak tahu, apakah aku berani mengambil keputusan (pindah gereja atau putus) bila aku pada posisi Mary? AKu hanya bisa berdoa, semoga Mary dan Sam dapat berbahagian sampai akhir hayat… Amin!
Dipersembahkan untuk pernikahan seorang cicik…
JN. Rony
20020605
yang masih mencari arti cinta