13 Nov 2004 @ 11:14 AM 

Sudah beberapa minggu lamanya hawa di kota Denpasar begitu panas menyengat. Sudah sekian malam pula aku tidak bisa tidur karena hawa yang panas itu. Maklum, kamar kostku hanya berbekal kipas angin yang putarannya tidak mampu mendinginkan suhu tubuhku yang terus-menerus berkeringat. Dalam semalam, aku bisa ganti baju sampai 3 kali, bahkan kipas angin yang biasanya kuberi timer, sejak suhu panas menyerang ini tidak pernah kumatikan sepanjang hari. Menurut kepercayaan, hawa panas yang teramat sangat ini pertanda hujan akan segera turun. Memang, saat itu hujan memang belum pernah mengunjungi kota Denpasar, kalaupun pernah… tidak pernah lebih dari 5 menit. Sudah beberapa malam pula aku memutuskan untuk pulang larut malam, sekedar mendinginkan tubuh lewat AC mobil dan angin malam.

2 malam kemarin hujan akhirnya turun di bumi Denpasar. Hujan yang cukup deras, yang sedikit bisa mendinginkan cuaca panas. Walaupun hujannya tidaklah terlalu deras, namun cukup membantuku untuk tidur, karena hujannya selalu pada malam hari. Memang hawa kamarku masihlah terasa panas, namun sudah tidak sepanas sebelumnya. Turunnya hujan ini bagaikan berkat yang membawa kesejukan di hati.

Sejenak aku mencoba merenungkan kejadian ini. Cuaca panas tersebut bagaikan suasana hatiku yang sering kali mudah marah, tersinggung, iri, dsb. Sebagai manusia yang lemah, aku sering kali tak mampu menahan amarahku. Kadang masalah kecil saja bisa berakhir dengan pertengkaran hebat. Entah dalam pertemanan, keluarga, pekerjaan, atau dalam lingkungan sehari-hari, sering kali diriku lebih dikuasai oleh emosi dalam menghadapi suatu permasalahan. Datangnya hujan ibarat siraman rohani yang diberikan oleh Tuhan padaku. Dalam setiap kejadian, aku menyadari bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan. Aku teringat akan refleksiku beberapa waktu lalu, tentang adanya berkat yang senantiasa dilimpahkan padaku walaupun saat itu diriku diliputi oleh perasaan marah.

Cuaca panas ini seolah mengajari aku untuk bersabar dan mampu menahan emosi. Memang, dalam cuaca yang sangat panas, terkadang orang lebih mudah terbawa emosi. Untuk itulah aku merasa memerlukan banyak siraman-siraman rohani. Siraman rohani ini bisa kuperoleh lewat misa kudus setiap minggu, lewar kejadian yang kualami, bahkan lewat orang-orang di sekitarku. Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengirimkan SMS padaku, isinya: “Whatever happends in your day… just relax & learn to smile! Cause you know, live is not like a problem to be solved, but a gift to be enjoyed!” Bagiku, ini adalah sebuah kalimat yang indah yang sangat mengiburku di saat aku menghadapi masalah. Lewat SMS itu, aku merasa Tuhan memberikan penghiburannya melalui perantaranya.

Hingga saat ini, aku tetap mencari misteri kepindahanku ke Denpasar. Aku merasa bahwa Tuhan punya rencana untukku. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali lagi ke Surabaya. Aku juga tidak tahu sampai kapan aku akan bertahan di Denpasar ini. Namun aku belajar bahwa ada sesuatu yang indah yang dipersiapkan Tuhan untukku. Walaupun sering kali aku kembali terbawa oleh emosi, namun lewat setiap perenungan aku merasa bahwa semakin hari aku semakin diajar oleh Tuhan untuk semakin sempurna. Aku kembali teringat akan kisah kesabaran dan kesetiaan Santo Ignatius dari Loyola saat mengalami pergumulan dalam iman. Cobaan yang kualami tidaklah lebih berat dari Ignatio muda, apalagi bila dibandingkan dengan cobaan yang dialami oleh Yesus sendiri. Untuk itulah aku benar-benar dituntut untuk mampu bersabar dalam setiap perkara, aku dituntut untuk lebih bijak dalam setiap tindakan.

Malam kembali panas, hujan kembali enggan membasahi kota ini. Aku mencoba mengingat semua kebaikan Tuhan yang pernah kuterima. Aku juga mencoba merefleksikan setiap tindakanku yang salah. Besok adalah hari yang fitri bagi umat muslim, hari dimana mereka saling memaafkan, hari dimana mereka mencoba kembali hidup yang baru dengan hati yang bersih. Demikian pula aku, aku ingin diriku mampu bangkit dari dosa-dosaku, aku ingin merubah diriku menjadi lebih baru, merubah hatiku menjadi lebih bersih dari sebelumnya. Aku senantiasa berharap pada Tuhan, agar diberikan kesabaran dan kemurahan hati. Bagaikan hujan yang mampu mendinginkan suasana panas, demikian pula aku ingin seperti hujan yang turun itu, mampu membawa damai di sekitarku.

Memang, hidup bukanlah masalah yang harus kita pecahkan, namun lebih sebagai berkat yang harus kita nikmati.
Mohon maaf lahir dan batin.

JN. Rony
20041113
Thx 2 Imey!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 04 Nov 2004 @ 1:40 AM 

Pagi tadi aku teringat akan sebuah iklan sebuah pabrik rokok yang cukup besar, “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”. Sejenak kupikirkan lebih dalam iklan “nylekit” itu. Memang, menjadi tua itu sudah wajib hukumnya bagi setiap manusia… seiring dengan waktu, manusia sehebat apapun akan “lapuk” oleh waktu. Namun kalimat “jadi dewasa itu pilihan” itulah yang menggelitikku. Tanpa sadar, kita sering tidak memikirkan “dewasa”, melainkan hanya memikirkan “tua” saja. Aku teringat saat masih kecil, ketapa senangnya aku setiap kali berulang tahun, sebab artinya aku semakin besar. Lalu saat duduk di bangku sekolah, banyak di antara kita yang begitu menantikan usia 17 tahun yang dilanjutkan dengan penantian usia 21 tahun saat kuliah. Penantian itu disebabkan karena kita berpikir bahwa bila mencapai usia tersebut kita sudah dianggap “dewasa” oleh orang lain. Saat itu yang ada di benak memang bertambah tua = bertambah dewasa.

Lewat iklan unik tersebut kita diajak berpikir secara jenaka. Bila mau direnungkan lebih dalam, bertambah tua tidak menjanjikan bahwa orang tersebut bertambah dewasa. Aku mencoba melihat diriku, sering kali aku bertindak kenanak-kanakan di usia yang semakin senja ini… Lewat sharing dengan banyak teman, aku pun mendapatkan kenyataan bahwa masih banyak orang yang belum dewasa walau usia semakin tua. Begitu juga sebaliknya… ada orang-orang yang dewasa sebelum tua. Tua dan Dewasa seolah telah menjadi 2 bagian yang tak terpisahkan dalam pikiran masyarakat; walaupun sebenarnya Tua dan Dewasa adalah 2 bagian yang belum tentu berjalan beriringan.

Dalam perjalanan hidupku, aku selalu menganggap diriku sudah tua dan bau tanah ๐Ÿ™‚ Kenapa demikian? Sebab aku tipe orang yang “expect the unexpected”, selalu mengharapkan yang terburuk. Walau tidak sepenuhnya siap, tapi aku selalu mencoba untuk menjadi orang yang siap mati kapan saja. Aku mencoba untuk tidak lagi tergantung pada dunia, walaupun hal itu sangat sulit untuk tipikal manusia “melankolis” seperti aku. Nah, dari menumbuhkan perasaan tua dalam diri ini, aku kemudian mencoba untuk turut menumbuhkan pula perasaan dewasa seiring dengan bertambahnya umur. Ternyata, menjadi tua memang lebih mudah daripada menjadi dewasa. Menjadi tua berarti sekedar bertambahnya usia yang disertai dengan tumbuhnya rambut putih, semakin jelasnya keriput di wajah, bertambah gendutnya perut, dsb. Menjadi dewasa itu berarti kompleks lagi, sebab berbeda dengan tua yang indikatornya lebih ke fisik, dewasa indikatornya lebih transparan karena lebih menyangkut soal psikis. Kedewasaan seseorang lebih banyak dinilai dari cara berbicara, cara berpikir, cara bertindak, cara pengendalian diri, dsb.

Hari ini ada 2 orang teman yang berulang tahun, yang seorang teman kantor, seorang lainnya teman kost. Untuk teman kost, kami sengaja menyiapkan “kado” istimewa di malam ultahnya. Dengan kerjasama satu sama lain, kami sengaja menciptakan situasi yang jelas-jelas sekali membuat dia BT berat sejak H-2 sebelum ultahnya. Namun, rencana tetap jalan… kami buat dia masuk kerja shift malam (minggu ini dia shift pagi), mobil kantor pun kami bawa (sehingga mau tak mau dia harus menunggu jemputan saat pulang kantor), lalu kamarnya kami hias layaknya pesta anak umur 5 tahun. Menjelang pukul 12 tengah malam, dia kami jemput, dimulailah acara pesta singkat (karena besok pagi harus kerja semua) dan tidak terlalu ramai (karena penghuni kost lain sudah pada tidur). Saat itulah kami juga membuat “pengakuan” tentang rencana kami yang membuat dia BT dan saat itulah BT-nya langsung hilang :). Ada satu sikap yang kusoroti lewat teman kost ini, yaitu sikap pengendalian dirinya yang cukup matang. Memang dia BT berat saat tahu harus tukar shift, namun mengingat alasan yang diajukan adalah demi kepentingan teman, maka dia pun rela untuk masuk malam (padahal seminggu sebelumnya sudah tugas malam terus). Walau dengan perasaan sebal karena harus tukar jadwal, tapi toh dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu pula saat tahu bahwa dia sedang dikerjai oleh teman-teman kostnya, dia pun bisa menerima dengan lapang dada, karena apa yang kami lakukan ini sebagai tanda sayang dan perhatian kami.

Lalu untuk teman kantor, walau kami jarang sekali bertemu, mengingat kami berbeda lokasi kantor, namun ada beberapa hal yang bisa kulihat dari sosoknya. Saat awal bekerja di kantor ini, yang kutahu teman ini menjadi bulan-bulanan, mungkin dirinya pada masa lalu merupakan orang yang menyebalkan di kantor, tapi apa sebabnya aku tak tahu dan tak mau tahu. Seiring dengan perjalanan waktu, aku melihat bahwa dalam diri teman ini mengalami cukup banyak perubahan. Begitu banyak berita yang kudengar, baik positif maupun negatif… namun ada satu yang bisa kulihat… bahwa selain bertambah tua, dia juga bertambah dewasa dalam tindakan dan pemikiran. Bisa jadi pergaulannya sekarang yang membentuknya demikian, namun yang terpenting adalah keinginan dan niat dari dalam diri untuk dewasalah yang bisa membuatnya demikian.

Sudah hampir 10 tahun terakhir ini aku mencoba memaknai ulang tahun lebih dari sekedar menjadi tua. Aku mencoba untuk mensyukuri ketuaan tersebut. Itulah setiap ulang tahunku selalu ada ritual ke gereja untuk misa, entah itu misa pagi atau sore hari. Aku mencoba untuk mensyukuri berkat napas yang boleh kuterima hingga setua ini dan aku berharap dengan bertambahnya umurku, aku dapat semakin berguna bagi Tuhan, keluarga dan orang-orang di sekitarku. Saat itulah aku mencoba mengingat kembali semua berkat-berkat yang kuterima sepanjang 1 tahun terakhir dan kurefleksikan kembali. Lewat itu aku mencoba untuk menjadi lebih dewasa.

Saat ini aku bertugas jauh dari rumah. Hidup sendiri di Bali bukan lagi menjadi sebuah pilihan, namun konsekuensi yang harus kujalani. Untuk itulah aku dituntut untuk lebih dewasa dalam banyak hal. Lewat orang-orang di sekitarkulah aku banyak belajar dan lewat peristiwa yang kualami aku mencoba bertumbuh dalam kedewasaan. Aku berharap lewat keakraban yang terjalin antara aku dengan teman-teman dapat membuat kami bertumbuh bersama dan menjadi dewasa bersama-sama. Menjadi dewasa tidaklah harus serius senantiasa, menjadi dewasa pun bisa dibentuk dalam keceriaan. Menjadi dewasa bukan berarti harus mengatur segalanya, namun lebih ditekankan pada kebijaksanaan yang keluar dari dalam diri. Menjadi dewasa tidak selalu benar dalam segala hal, namun kadang bisa jadi dewasa dengan menertawakan kebodohan diri sendiri.

Aku pun teringat pada testimonial yang ditulis oleh beberapa kawan lewat Friendsterku… mungkin yang ditulis lebih banyak yang baik-baik saja tentang diriku, namun aku melihatnya sebagai kritikan akan siapa diriku di mata teman-temanku. Kadang saat kubaca, aku pun menertawakan diriku… apakah aku sudah benar-benar seperti apa yang ditulis? Ataukah saat itu aku hanya memakai topeng sehingga orang mengenang kepalsuanku? Yang jelas, seiring dengan bertambahnya usiaku… aku menyadari begitu banyak hal yang berubah dalam diriku… dan itupun memacu aku untuk menjadi lebih dewasa dalam segala hal…

Ad Maiorem Dei Gloriam!

JN. Rony — jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu wajib!
20041104

untuk Alex dan Imey yang berulang tahun…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan
 20 Oct 2004 @ 6:20 PM 

Beberapa hari terakhir ini aku cukup direpotkan oleh semut-semut kecil yang berkeliaran di dalam kamarku… Awal mula aku menempati kamar ini, boleh dibilang bebas dari berbagai macam serangga, namun mungkin karena barang-barang sudah ditempatkan pada posisi masing-masing, lalu juga adanya persediaan makanan di kamar, membuat pasukan semut mulai bergerilya mencari ransum untuk gudang mereka. Herannya, sampai hari ini aku belum bisa menemukan jalur perjalanan semut-semut tersebut, jadi keberadaan mereka mau tak mau masih terus ada.

Awalnya aku betah saja membunuh satu per satu semut-semut yang terlihat, kadang kala kalau di tembok terlihat barisan semut, kusemprot dengan HIT (kalau ga ada yang lebih bagus dari hit, buat apa pilih yang lain?), namun lama-kelamaan aku gerah juga karena sudah berhari-hari semut-semut itu selalu hadir seolah tak pernah habis dan jera melihat teman-teman pendahulunya kubasmi dengan kejamnya.

Di saat senggang, kadang aku memikirkan perilaku semut-semut tersebut… dan mau tak mau aku harus salut dan angkat topi untuk mereka. Kenapa begitu? Sebab mereka begitu gigihnya dalam mencari ransum, serasa teringat akan moto para pejuang kemerdekaan dulu… mati satu tumbuh seribu atau maju terus pantang mundur, dsb. Para semut-semut kecil ini tetap nekat kembali ke tempat yang sama atau bahkan mengejar makanan yang kupindahkan tempatnya. Tujuan mereka serasa satu… bergotong-royong dan bahu-membahu mendapatkan target mereka, yaitu makanan! Apa yang dilakukan semut-semut itu sedikit banyak bisa kita terapkan dalam keseharian kita, terutama dalam lingkungan pekerjaan.

Ada seorang kawan yang menuturkan kisahnya padaku, sebut saja Joni. Si Joni ini bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang cukup sukses dan memiliki jaringan di seluruh Indonesia. Posisi yang dimiliki oleh Joni adalah sebagai salah satu pimpinan cabang yang bisa dibilang sukses pula. Awal mula Joni bekerja di perusahaan ini, semuanya terasa bersahabat dan indah, apalagi saat itu Joni mendapatkan banyak support dari sesama rekan kerjanya. Seperti semut-semut tadi, Joni dan seluruh team bekerja sama dengan satu tekat membesarkan perusahaan tempat mereka bekerja. Satu waktu, perusaahaan mereka membukukan hasil yang melampaui target dan hal ini disambut gembira oleh ratusan karyawannya. Saat itu mulailah ada perbaikan nasib di antara para karyawan, mulai gaji, bonus, tunjangan, fasilitas, dsb. Sayangnya, keberhasilan ini membuat beberapa orang jadi lupa daratan, mengingat seolah-olah mereka mendapatkan durian runtuh dalam jumlah yang besar, sehingga bisa dipakai berjualan durian. Mulailah terjadi saling sikut-menyikut, saling menuduh, saling menjatuhkan dan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Joni adalah salah satu korban dari persaingan tidak sehat tersebut. Dalam hati, Joni sangat kecewa dengan kondisi tersebut dan memutuskan mundur dari perusahaan tersebut. Tak lama berselang, perusahaan Joni ini dituntut pailit karena ditemukan terjadinya korupsi besar-besaran di dalam perusahaan oleh orang-orang yang tamak dan buta karena kesuksesan sesaat yang mereka capai. Menurut Joni, mereka lupa saat-saat mereka saling bahu-membahu membangun perusahaan dengan susah-payah, hanya karena uang, jabatan dan fasilitas yang mereka dapat lebih dari yang biasanya mereka terima akibat sukses tersebut. Beruntunglah Joni sudah memutuskan untuk keluar sebelum terkena kasus.

Kisah Joni tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila mereka yang ada di perusahaan tersebut mau mencontoh kerja para semut kecil. Banyak orang mengatakan bahwa semut adalah pekerja yang tak kenal lelah. Koloni semut seakan-akan bekerja sepanjang waktu. Sekalipun mereka mendapatkan “jarahan” dalam jumlah besar di rumah kita, mungkin saat kita bepergian cukup lama dan membiarkan makanan dalam keadaan terbuka, atau mungkin kita ceroboh dalam menyimpan bahan makanan, dsb.; namun para semut-semut tersebut tetap akan mencari dan mencari sumber makanan yang bisa mereka ambil. Target lebih yang mereka peroleh bukan mengartikan bahwa mereka boleh berhenti bekerja. Semut juga patut diacungi jempol untuk kerjasamanya. Walaupun mereka kecil, namun mereka bisa mengangkut barang-barang yang ukurannya beberapa kali lipat dari tubuh mereka. Mereka saling bahu-membahu dalam setiap pekerjaan. Inilah yang sering dilupakan orang… saat susah, orang cenderung untuk saling berbagi… namun saat sukses, orang akan berusaha berebut kesuksesan tersebut.

Aku sangat suka dengan buku berjudul “Who Moved My Cheese?” yang bertutur tentang 3 ekor tikus dalam perjalanan mereka mencari keju dalam sebuah labirin. Saat ketiga tikus tersebut menemukan ransum keju dalam jumlah besar, mereka berpesta pora dan menikmati hidup mereka dengan keju-keju tersebut. Setiap hari mereka menuju ke tempat yang sama dan menghabiskan keju-keju yang ada di sana. Saat persediaan keju mulai menipis, mulailah terjadi perpecahan di antara mereka: tikus pertama yang sudah dimabuk oleh kesuksesan tidak percaya bahwa keju telah habis dan selalu berharap apa yang menimpa mereka ini hanyalah mimpi. Setiap hari tikus pertama selalu kembali ke tempat tersebut sambil berharap bahwa keju-keju yang kemarin hilang tersebut sudah dikembalikan lagi ke tempat semula dan setiap hari yang diperoleh oleh tikus pertama hanyalah rasa kecewa. Tikus kedua memutuskan untuk mencari “gudang” keju yang baru, namun yang dia peroleh hanyalah sisa-sia keju busuk yang sudah ditinggalkan oleh penghuni lama. Mengetahui hal ini, tikus kedua mulai menyesali dirinya dan terpuruk dalam kesedihan mendalam. Sedangkan tikus ketiga, semenjak ransum mereka hampir menipis, dia sudah mengajak teman-temannya untuk mencari “gudang” baru sekedar berhaga-jaga bila ransum keju mereka habis, namun idenya selalu ditolak oleh kedua temannya dengan alasan mereka masih bisa makan kenyang di tempat itu. Akhirnya tikus ketiga pun sudah mulai mencari jalan baru dalam labirin yang membingungkan tersebut dengan menyisihkan waktunya. Setiap pagi, tikus ketiga ikut bersama kedua temannya untuk makan keju, namun siang hari tikus ketiga meninggalkan mereka untuk mencari persediaan keju baru. Saat keju telah habis, tikus ketiga sudah mendapatkan “gudang” baru untuk dirinya.

Analogi ketiga tikus yang mencari keju ini cukup bisa menggambarkan sikap kita dalam pekerjaan. Tikus pertama menggambarkan orang yang silau karena kemapaman yang diterima sehingga saat masalah datang, dia tidak bisa menerima dan menganggap kesuksesan telah direnggut darinya. Atau mungkin seperti kasus si Joni di atas, orang yang silau karena kesuksesan sesaat sehingga lupa akan masa-masa berat yang telah mereka lalui. Tikus kedua menggambarkan orang yang mau mencari sumber baru saat kesuksesannya pudar, namun saatnya sudah terlambat. Orang ini tidak mau berjaga-jaga sejak awal, namun lebih memilih bersantai menikmati kesuksesannya dan saat semuanya sudah hilang, orang ini sudah kehilangan sumber lain karena kalah cepat dengan orang lain. Tikus ketiga menggambarkan orang yang dalam pekerjaannya selalu waspada dan mawas diri. Dia tidak mudah terbuai oleh kesuksesan yang berhasil diraih sekalipun itu sukses besar. Oleh karena itu, sekalipun sudah berhasil meraih targetnya, dia tetap berusaha untuk mencari target baru dalam pekerjaannya. Analogi tikus ketiga ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh koloni semut.

Pikiranku kembali termenung saat menunggu jam pulang kantor ini… aku mencoba untuk menilai diriku, termasuk tikus yang manakah aku?

Cheeseee!!!

JN. Rony
20041020

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.