Tak sadar, aku telah melalui masa 1 tahun berada di pulau Dewata ini. Yeap, 1 Juli yang bertepatan dengan hari jadi Polri, juga menjadi hari dimana aku menginjakkan kaki di pulau Bali setahun yang lalu dan mulai tinggal hingga hari ini. Beberapa hari ini aku mencoba untuk menoleh ke belakang… melihat jejak-jejak kaki yang telah kubuat…
30 Juni 2004, sekitar pukul 4 sore, aku berpamitan pada keluarga dan mulai meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil yang penuh dengan barang-barang untuk pindah ke Denpasar. Hari itu aku ditemani oleh 2 orang teman kantor. Setelah makan malam, kami meninggalkan kota tercinta Surabaya sekitar pukul 8 malam dan… Bali, here we come. Perjalanan malam itu kami tempuh non-stop, namun tidak terlalu ngebut… maklum, hari itu kondisi kami sudah payah semua karena paginya masih ngantor; ditambah lagi, tidak seorangpun di antara kami yang pernah menempuh perjalanan darat ke Bali. Jadi dengan berbekal peta, maka aku boleh dibilang cukup nekat untuk melalukan pindahan ke Bali. Memang kepindahanku saat itu cukup mengagetkan, mengingat semua keputusan pindahan itu terjadi dalam waktu kurang dari seminggu. Namun, apa yang sudah kuucapkan tentunya harus kupertanggungjawabkan. Setelah mendarat di Gilimanuk, mulailah giliranku menyetir hingga Denpasar. Dengan tenaga yang sudah hampir habis itu, perjalanan terhenti beberapa kali untuk tidur sejenak.
1 Juli 2004, kami memasuki Denpasar sekitar pukul 8 pagi. Setelah check-in di hotel dan mandi, kami langsung menuju kantor baru yang akan kutempati dan langsung mempersiapkan apa-apa yang diperlukan untuk operasional kantor. Maklum, di kantor itu hanya tersedia beberapa meja saja, jadi aku harus berbelanja cukup banyak untuk mengisi ruang kosong itu.
2 Juli 2004, aku menerima kabar sedih… temanku, Meiliawati akhinya menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah 2 tahun berjuang melawan penyakitnya.
3-4 Juli 2004, aku pindah hotel, karena masih belum mendapatkan kost. Selama 2 hari aku menginap di hotel yang sepi sekali, karena tamu yang menginap hanya aku seorang… Hari Minggunya aku pertama kali merasakan misa di salah satu gereja di Denpasar.
5 Juli 2004, akhirnya aku mendapat kost di pinggir kota Denpasar. Well… memang bukan yang paling bagus dan nyaman, tapi setidaknya terbaik dari yang terburuk. Malam itu aku pindah hotel lagi, karena kamar kost masih kotor dan susah untuk ditempati. Mulailah aku beradaptasi dengan lingkungan baruku, tanpa teman dan saudara. Hanya beberapa orang saja yang baru kukenal di Bali. Malam-malam kulewati dengan perasaan sepi dan sedih. Tanpa support dari beberapa orang terdekatku, mungkin aku sudah tak tahan lagi…
Agustus 2004, mulailah aku menemukan beberapa teman yang hilang lewat perjumpaan yang tak terduga. Selain itu, aku juga diperkenalkan dengan teman-teman baru yang sesama perantauan, oleh seorang teman sekolahku yang pernah bekerja di Bali. Jujur, itulah saat-saat paling bahagia sejak aku pindah ke Bali.
September 2004, aku akhirnya pindah ke kost baru, tempat dimana teman-teman baruku tinggal. Selain itu, aku juga pindah kantor ke tempat yang baru. Lewat pindahan ini aku merasakan kekuatan dan harapan baru muncul. Semangatku yang sempat drop kembali timbul, terlebih karena aku mulai merasakan cinta…
Oktober 2004, kulalui hari-hariku dengan rutinitas kerja dan bersenang-senang dengan teman-teman baru…
November 2004, kembali pengendalian diriku diuji… beberapa masalah datang dan pergi. Namun, tak henti aku terus mencoba menggali rencana Tuhan seiring kepindahanku ini. Aku tetap memegang teguh bahwa ada rencana indah di balik semua peristiwa. Aku sadar, secara tak sadar, diriku ditempah menjadi lebih kuat dan mandiri. Namun, Tuhan tak pernah memberikan cobaan lebih dari yang bisa kutanggung… di saat aku jenuh, selalu ada yang menghiburku… salah satunya adalah teman kost yang sudah kuanggap sebagai seorang adik. Belum lagi, aku selalu mendapatkan kekuatan lewat petuah romo uskup Sunarko.
Desember 2004, seorang yang istimewa dalam hidupku melangsungkan pernikahannya. Lewat doa kumohonkan agar dia bisa hidup bahagia selamanya. Menjelang Natal, sahabat-sahabatku berkumpul di Bali untuk berlibur bersama. Sebuah moment yang paling membahagiakan sepanjang akhir tahun. Memang, saat itu aku kembali patah hati… namun Tuhan senantiasa menghiburku lewat peristiwa unik… seumur hidupku baru di Bali aku menerima hadiah pohon natal (walau mini) dan kaos kaki natal…
26 Desember, setelah merayakan misa Natal pertamaku di Katedral Denpasar… bersama teman-teman yang datang dari berbagai penjuru (Surabaya, Jakarta, dan Sydney), kami bersama pulang ke kampung halaman kami di Surabaya dengan mengendarai mobil. Hari itu, sejak pagi kota terus-menerus diguyur hujan tak henti. Bahkan sepanjang perjalanan kami ke Surabaya, cuaca sungguh tak bersahabat. Hujan badai yang begitu deras menumbangkan banyak pohon. Kami yang menempuh perjalanan malam hari sampai khawatir, mengingat pandangan jalan tidak lebih dari 1 meter ke depan. Praktis, kami tempuh perjalanan “basah” itu dengan waktu 14 jam lebih. Setelah itu kami baru sadar, cuaca hari itu adalah efek bencana tsunami di Aceh… alam keliatannya sedang “murka” kepada manusia…
Januari 2005, tahun baru = harapan baru. Di tahun 2005 ini aku berharap bisa lebih berkembang baik dalam pekerjaan maupun pribadi. Memang aku sudah sedikit banyak berdamai dengan keadaan. Rutinitas pun telah kubentuk. Walau masih banyak masalah yang melilitku, namun aku percaya Tuhan selalu menyediakan jalan terbaik untuk kulalui… Pada akhir bulan aku terjatuh dan membuatku harus beristirahat karena pergelangan kakiku mengalami bengkak dan saat inilah aku merasakan parahnya layanan medis di Bali.
Februari 2005, bulan penuh warna pink kulaui dengan suasana hati tak menentu… namun aku mendapat penghiburan dari adik seorang teman di Melbourne yang akhirnya kuanggap sebagai adikku juga. Inilah hiburan yang diberikan oleh Tuhan padaku… lewat chatting, kami bisa saling bertukar cerita dan pengalaman.
Maret 2005, Bali disibukkan oleh hari raya Nyepi. Pengalamanku yang pertama menghadapi Nyepi sungguh di luar dugaan. Tiket pesawat semua penerbangan habis 2 minggu sebelum Nyepi. Untung aku sendiri sudah membeli sebulan sebelumnya. Sehari sebelum Nyepi, semua kegiatan kantor sudah banyak yang diliburkan. Jalan-jalan sudah terasa sepi, banyak yang meninggalkan Bali. Suasana bandara bagaikan pasar, bahkan ada penumpang yang sampai di bandara 5 jam sebelumnya, sekedar antisipasi masalah transportasi di kota yang tidak menentu. Memang Nyepi di Bali adalah fenomenal, karena pada hari itu, selama 24 jam penuh semua aktivitas dihentikan; tidak ada suara, tidak ada asap, tidak ada cahaya. Semua orang tinggal di dalam rumah masing-masing.
April 2005, ceceku yang paling aku sayangi meninggalkan Indonesia menuju ke Canada. Rasa gembira dan sedih bercampur saat di bandara Cengkareng. Gembira, karena selama ini kami berdoa agar ijin tinggal di Canada bisa disetujui terkabul, namun sedih karena aku tak bisa lagi menghubunginya seperti dulu. Namun, aku senang ceceku sebelum berangkat bisa bertemu dengan seorang yang saat ini mengisi hari-hariku…
Mei 2005, banyak tamu!!! Bulan ini aku banyak disibukkan dengan beberapa tamu yang berlibur ke Bali. Selain itu, bulan ini juga aku banyak melakukan perjalanan dinas. Praktis hampir tiap akhir minggu aku tidak berada di kost. Capek memang, namun banyak pengalaman kuperoleh lewat perjalanan yang kulalui… dan yang paling menyenangkan adalah saat aku mengantar serombongan tamu dari Surabaya yang gemar bertualang, sehingga capek pun tak terasa…
Juni 2005, masih bulan yang sibuk. Sejak menghadiri rapat nasional, pekerjaan yang harus kulakukan di kantor cukup menyita waktuku. Sejak itu pula, aku lebih banyak makan ala kadarnya. Namun, semua itu tak terasa karena memang aku lagi semangat untuk membuat sebuah perubahan dan perkembangan. Bulan ini kost ketambahan penghuni baru dari Surabaya… tapi sayang… memeku, Imey memutuskan untuk berhenti bekerja di Bali dan pulang ke kampung halaman…
1 Juli 2005, genap sudah 1 tahun aku hidup di Bali. Genap 1 tahun pula aku mengoperasikan kantor cabang di sini… Lewat tumpengan syukuran kecil, kami berharap agar berkat senantiasa berlimpah dalam pekerjaan dan kehidupan. Begitu banyak peristiwa yang sudah kualami. Begitu banyak kejadian yang sudah kulihat. Lewat itu semua aku senantiasa mencoba untuk merenungkan dan merefleksikannya kembali. Aku percaya semua itu adalah jalan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan untukku. Aku percaya semua peristiwa itu adalah rencana pembentukan diriku. Memang seringkali aku mencoba untuk memberontak dan melawan keadaan, namun pada akhirnya aku menyerahkan hasilnya pada Tuhan. Lewat perjalanan hidupku aku belajar bahwa kita harus berharap dan berpasrah pada kehendakNya, namun kita pun harus tetap berjuang menjalani hidup. Kerinduanku untuk kembali ke Surabaya tetap melekat, tapi konsekuensi kepindahanku ke Bali harus tetap kujalani. Aku hanya bisa menjalani saja semua perjalananku ke depan…
From Bali with Love, Peace, and Wave…
JN. Rony
20050702
“That there’s some good in this world, and it’s worth fighting for.” — Samwise Gamgee
Natal kali ini berbeda dengan Natal yang sudah kulalui sebelumnya. Selama aku menjadi seorang Katolik, aku selalu merayakan Natal di kota kelahiranku. Itupun selalu misa di 2 tempat saja, kalau tidak di gereja tempatku dibaptis, ya di katedral saat aku bertugas bersama koor. Namun, Natal kali ini aku merayakan di tempat yang sama sekali tidak pernah kupikirkan sebelumnya, Bali. Pertama karena aku lebih suka merayakan Natal di gereja masa kecilku dan kedua karena aku paling malas ke Bali saat liburan bersama, terlalu macet buatku.
Beberapa hari menjelang Natal kemarin, aku cukup disibukkan dengan beberapa kegiatan, praktis membuatku cukup sibuk dan capek karena harus pulang ke kost cukup larut malam. Di kala kesibukan tersebut, aku mendapatkan sesuatu yang lain dalam Natal kali ini, pohon Natal dan kaos kaki Natal! Seorang teman memberiku pohon Natal mini yang bertaburan salju, sedangkan seorang teman lain memberikan bingkisan dan kaos kaki Natal. Mungkin inilah hadiah dari Tuhan buatku. Memang Natal kali ini tidaklah semeriah merayakan Natal di Surabaya, bisa bertemu dan bernostalgia dengan teman-teman lama saat bertemu di misa malam Natal, namun Tuhan memberikan hadiah Natal lewat beberapa orang yang kukenal di sini. Belum lagi beberapa teman baikku bisa berkumpul di Bali, berlibur sekalian merayakan Natal di sini.
Suasana Natal di Bali tahun ini agak meleset dari dugaanku. Melihat kondisi lebaran kemarin dan stok tiket pesawat serta hotel 2 minggu lalu yang habis, seharusnya Natal kali ini Bali pun akan macet dan penuh dengan turis. Tapi ternyata dugaan tersebut meleset. Menjelang libur Natal, ternyata banyak tiket pesawat yang batal terbang dan kemudian dijual murah, begitu juga dengan kamar-kamar hotel, tidak lagi penuh seperti sebelumnya. Kondisi jalanan di Bali pun tidak banyak kendaraan pendatang. Hal ini mungkin berkaitan dengan “travel warning” yang dikeluarkan oleh beberapa negara agar warganya tidak berkunjung ke Indonesia, berkaitan dengan ancaman bom di hotel Hilton.
Malam Natal kemarin kuperingati dengan misa bersama teman-teman di Katedral Denpasar. Suasana misa malam Natal di Bali memang berbeda dengan Surabaya. Hampir semua gereja penuh sesak, mengingat jumlah gereja yang tidak begitu banyak dan jadwal misa yang paling banyak hanya 2 kali untuk setiap gereja. Bandingkan dengan Surabaya yang jumlah gerejanya lebih banyak dan jadwal misa bisa sampai 3 kali tiap gereja. Belum lagi daya tampung di mayoritas gereja di Bali sangat kecil dibandingkan di Surabaya. Inilah yang membuat misa malam Natal di Bali begitu penuh sesak dan katedral adalah gereja dengan kapasitas paling besar di sini. Berkaitan dengan teror bom di beberapa tempat, pengamanan di Katedral Denpasar pun begitu ketat. Setiap pengunjung yang masuk dan membawa tas, digeledah oleh aparat kepolisian yang sudah berjaga di pintu masuk gereja. Lalu saat masuk ke gedung, setiap orang diwajibkan melewati pintu detektor. Pihak kepolisian serasa tidak ingin “kecolongan” lagi, terbutki dengan begitu banyaknya personel yang diturunkan pada saat malam Natal. Saat misa, suasana pun terasa berbeda, mungkin memang aku terlalu membanding-bandingkan dengan suasana di kampung halaman dan tentunya pasti berbeda. Namun, aku sadar bahwa aku harus mencoba menerima perbedaan tersebut. Sesuai misa, aku bersama dengan rombongan kecil pergi makan malam bersama sambil ngobrol santai.
Well, suasana Natal kali ini memang berbeda. Namun, setidaknya aku tetap bisa merayakannya dengan sehat bersama dengan beberapa teman. Inilah karunia Tuhan yang kuperoleh sebagai hadiah Natal untukku. Masih banyak orang-orang yang tidak bisa merayakan Natal karena berbagai alasan. Aku berharap, semoga damai Natal kali ini dapat memberiku semangat untuk terus bertahan di kota ini.
Selamat Natal semuanya!
JN. Rony
20041226
Malam ini hujan kembali membasahi bumi. Sejenak aku mencoba mengambil waktu untuk berdiam dan merenung, sebuah hal yang tidak lagi bisa kulakukan setiap hari seperti dulu. Aku teringat bahwa saat aku masih aktif menerbitkan sebuah warta untuk komunitasku, hampir setiap malam aku berdiam dan merenung untuk menghasilkan sebuah renungan atau refleksi yang kuperoleh dari pengalaman hidupku sehari-hari. Namun sejak hampir 2 tahun terakhir ini, aku merasa bahwa inspirasi menulis itu hampir tidak pernah lagi datang dalam diriku. Memang harus diakui aku jarang sekali bisa mengambil waktu untuk diam dan merenung. Entah karena kesibukanku yang membuatku selalu kelelahan setiap pulang kerja, ataukah karena begitu menumpuknya beban di kepalaku yang jarang kubuang sehingga mengakibatkan aku selalu menjalani keseharianku dalam semua masalahku, ataukah karena adanya pergolakan dalam hatiku yang membuat aku tidak bisa diam dan tenang? Ach… aku masih belum bisa menemukan jawabnya. Yang jelas malam ini aku cukup merasakan sebuah ketenangan yang cukup membawa damai dalam diriku… suara kosong ruangan kamarku yang diiringi dengan suara rintik hujan. Sejenak aku seolah merasa kembali ke masa lalu…
Tadi siang aku kembali menjadi saksi hidup menyatunya 2 manusia dalam sebuah pernikahan. Yang seorang adalah teman yang sangat special dalam hidupku. Dalam rangka pernikahannya inilah aku sengaja menyempatkan diri pulang ke Surabaya agar bisa hadir bersama dengan teman-teman seangkatanku menyaksikan ikatan janji suci ini. Dalam kotbah, sang romo menyampaikan tentang peranan cinta dalam hidup pernikahan. Tak peduli jasmani yang akan termakan usia, selama ada cinta maka hidup pernikahan bisa bertahan hingga akhir hayat. Aku pribadi mengamini hal tersebut dan aku juga percaya bahwa hal itu pun berlaku dalam kehidupan keseharian kita. Dalam hubungan dengan manusia lain (entah itu keluarga, teman, atau orang lain), bila cinta kasih turut dilibatkan tentunya hubungan tersebut akan menjadi semakin akrab. Dan harus kuakui, unsur ini belakangan jarang kupakai dalam berelasi dengan sesama.
Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul 0:09, hari pun telah berganti. Hari ini aku kembali merayakan pesta nama santo pelindungku, Nicholas. Semenjak aku memilih Santo Nicholas sebagai nama permandianku, aku telah memutuskan untuk belajar dan meneladannya. Santo Nicholas adalah seorang uskup yang baik hati dan penuh cinta pada sesama. Dia seringkali berkeliling dan memberi dari kekurangannya untuk sesama. Karena perbuatannya itulah Santo Nicholas juga dianggap sebagai Sinterklas atau Santa Klaus bagi sebagian orang. Namun, hingga saat ini aku merasakan betapa sulitnya memberi dari kekurangan itu.
Malam makin larut… aku pun makin larut dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benakku. Begitu banyak masalah yang terpendam dalam benakku, yang belakangan ini sering membuat kepalaku pusing. Namun, malam ini aku mencoba untuk kembali belajar dan meneladan Santo Nicholas. Aku mencoba untuk memberi dari kekuranganku. Aku juga mencoba untuk kembali melibatkan unsur cinta kasih dalam setiap langkahku. Aku tak ingin terus-menerus larut dalam kesedihan dan lingkaran setan masalah yang tidak berakhir. Aku sadar bahwa ada hal yang bisa diselesaikan dan ada pula hal yang harus dilupakan.
Ach… kantukku mulai menyerang… Aku jadi teringat akan lagu yang belakangan cukup ngetop, “Rocker juga manusia… punya rasa, punya hati… jangan samakan dengan… pisau belati…”. Aku pun sadar bahwa aku adalah manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun, aku mencoba untuk senantiasa belajar… agar di dalam kelemahan dan kekuranganku tersebut… nama Allah sang penciptaku dapat dimuliakan… Amin.
Pada pesta St. Nicholas,
JN. Rony
20041206