15 Feb 2000 @ 12:04 AM 

Paskah, selalu mengingatkan aku bahwa untuk menjadi seorang Katolik, ternyata tidak semudah dugaanku. Begitu banyak perjuangan yang aku alami untuk bisa mendapatkan selembar surat baptis, yang ternyata bagiku sudah bukan merupakan sebuah surat lagi, melainkan perjuanganku dalam mencari dan mengenal sosok yang begitu banyak merubah hidupku hingga saat ini.

Bila dilihat dari unsur keluargaku, tidak seorangpun di keluargaku yang Katolik. Papaku Kong-Hu-Cu, mamaku Kristen, tapi keduanya bisa dibilang aliran KTP saja… sedangkan aku dan kakakku waktu kecil hingga remaja adalah manusia yang masih mencari “agama” dan “aliran” masing-masing. Otomatis kami sebagai anak, ikut saja… kadang ke gereja, kadang ke klenteng. Aku sendiri, sejak TK nol besar, sudah masuk di sebuah TK Katolik, dan berlangsung hingga SMA. Mulai dari TK, aku sudah diajarkan ke gereja, karena itu adalah kegiatan rutin sekolah. Entah kenapa, aku begitu menikmatinya dan aku begitu senang ke gereja. Pada waktu SD kelas 3, aku mempunyai seorang teman yang beragama Kristen (aku baru tahu saat SMP, karena baru bisa membedakan Kristen dan Katolik saat aku SMP), dia begitu semangat dalam hal iman/agama. Dia sering sekali “menceramahi” aku soal iman Kristen dan ini berlangsung sampai kami lulus. Kalau dilihat-lihat, memang temanku ini punya bakat menjadi seorang pendeta sejak kecil… Sayangnya, kerinduanku untuk masuk Katolik itu kurang direspon dengan keberanianku untuk mengungkapkannya pada siapa pun juga. Memang, itulah salah satu kelemahanku sejak kecil, tidak berani terus terang dan kurang yakin dalam mengambil keputusan.

Memasuki kelas 2 SMP, aku “nekat” untuk bilang pada guruku bahwa aku ingin pindah kelas agama ke bagian khusus untuk Calon Katolik. Ternyata guruku mengijinkanku. Alangkah bodohnya aku ! Selama ini aku takut akan sesuatu yang semestinya mudah saja, asal aku mau mengungkapkannya. Lalu selama 2 tahun aku mengikuti pelajaran Calon Katolik dengan tekun dan bisa dibilang aku sangat tertarik. Hanya waktu itu minatku ke gereja masih rendah sekali, pergi pun jika di sana ada teman. Nah, tibalah saatnya kelas 3 SMP diadakan “pencucian” bagi yang absensinya sudah mencukupi, ternyata punyaku masih kurang, sehingga aku nggak bisa ikut baptisan. Yang bikin aku sangat kecewa adalah, ternyata absensiku itu kurang 5 buah saja ! Aku begitu terpukul, karena aku harus mengulang lagi pelajaran agama di SMA, selama 3 tahun lagi… Hal inilah yang akhirnya bikin aku jatuh bangun dalam mengikuti pelajaran agama tambahan itu.

Saat itu, ternyata dari keluargaku menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik untukku mengikuti “kursus” agama itu. Hal itu disebabkan karena frekuensiku ke gereja semakin sering dan juga kursus agama itu tidak dimasukkan dalam jam sekolah, sehingga mengakibatkan aku sering pulang terlambat atau berangkat lebih awal. Akibatnya, saat kelas 2 SMA, aku dilarang untuk ikut berbagai macam ekstra kurikuler, sehingga mengakibatkan kursusku terhenti juga. Lalu, saat kelas 3, aku mulai mengikuti kursus lagi, sayangnya tidak bisa membantu aku untuk baptis, walaupun dengan “katabelece” absensi dari SMP. Aku pun kecewa untuk kedua kalinya. Tapi ada satu kejadian yang membuat hidupku berubah, yaitu aku mulai mengenal karismatik saat itu melalui Camping Rohani Siswa. Dari sana, tekatku untuk menjadi seorang Katolik semakin besar, hanya kurang didukung dengan relasiku dengan gereja ataupun komunitas lain, yang membuat aku jadi “kuper”.

Masuk kuliah, aku pun langsung mengambil pilihan Katolik untuk mata kuliah agama. Aku sempat bingung, karena universitasku adalah universitas umum, sehingga tidak menyelenggarakan baptisan ataupun kursus untuk baptisan. Maka, berbekal nekat dan katabelece dari SMP dan SMA, aku cari-cari informasi di gereja tetangga sekolahku dulu. Sekolahku dari TK sampai SMA ada di satu jalan, sehingga bisa dibilang seperti rumah sendiri, bagaimana tidak, 13 tahun aku menghabiskan pendidikanku di sana ! Lalu aku pun masuk ke kelas calon baptis dan ikut kelas orang dewasa. Nah, tekatku benar-benar diuji, karena di kelas kali ini, aku tidak mempunyai kewajiban sama sekali untuk datang, selain kesadaran sendiri. Mengingat jarak rumah ke gereja yang cukup jauh, maka aku benar-benar harus niat untuk dibaptis, apalagi jam kursusnya malam hari. Wah ! Kusadari, bila Tuhan nggak menguatkan aku, mungkin aku sudah “mrotol” lagi…

Tibalah Paskah tahun 1996, aku mendapat restu dari romo pembimbingku untuk dibaptis. Aku begitu gembira, karena mengingat perjuanganku untuk menjadi seorang Katolik begitu lama. Mulai dari keinginan untuk masuk Katolik dipendam selama 4 tahun, lalu ikut kelas agama selama 6 tahun, jadi total 10 tahun ! Belum lagi, tantangan dari keluargaku yang kurang simpati merespon keinginanku untuk jadi Katolik. Maka, berbekal surat ijin palsu dari orang tua (walaupun sebenarnya tidak perlu, karena aku sudah masuk kategori dewasa alias nggak butuh ijin orang tua lagi), dan wali baptis yang kurang kukenal (saat itu aku masih belum akrab dengan seorang Katolik yang bisa dijadikan panutan, sehingga untuk wali, aku “nunut” sesama teman baptisan), maka aku baptis secara diam-diam pada malam Paskah, tepatnya 6 April 1996. Hari yang begitu bersejarah buatku. Aku begitu terharu, walaupun saat itu yang mengikuti misa tengah malam sangatlah sedikit.

Sungguh, untuk “memanggul” salib ternyata tidak semudah dugaan kita. Untuk “mengambil” salib itu sendiri diperlukan perjuangan, apalagi saat “memanggul”nya dan kelak saat kita “mengenakan” salib itu untuk menang bersama Kristus. Aku sendiri merasakan begitu beratnya mengikuti Kristus, tapi bebanku itu bisa berkurang dengan bantuan Kristus sendiri. Sering kali aku jatuh bangun sebagai seorang Katolik, tetapi aku pun kemudian berusaha untuk bangun lagi, seperti halnya Kristus yang jatuh berulang-ulang saat memanggul “salib penderitaan”-Nya, tetapi tetap bangkit untuk menjadikannya “salib kemenangan”.

Bagaikan bejana yang memakan waktu lama sekali untuk dibentuk sesuai keinginan sang “Maestro”, inilah diriku, Tuhan, siap untuk Kau bentuk. Walau sering bentukku sering tidak sesuai dengan yang Kau harapkan, tetapi Engkau tak pernah bosan untuk terus mencoba membentuk aku. Semoga Tuhan memberkati kita semua !

15 Februari 2000
Nicholas – bejana tanah liat

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:16 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal
 11 Jan 2000 @ 12:59 AM 

Natal. Seharusnya kulalui dengan hati bersyukur atas kelahiran Yesus Kristus. Maklum, setidaknya itulah tugasku sebagai orang Katolik. Di tahun-tahun sebelumnya… Natal selalu kulalui dengan penuh keceriaan dan mungkin lebih terkesan “hura-hura” ketimbang menghayati “hadirnya” Kristus di dunia ini. Natal, terjadinya di bulan yang begitu istimewa, yakni Desember, yang mempunyai banyak makna bagiku… yaitu di samping bulan kelahiranku, juga pesta semua santo pelindungku juga ada di bulan ini dan sudah sewajarnya jika memang aku harus merayakan dengan merenungkan dan memperbaiki diriku agar bisa meniru teladan santo-santo pelindungku itu.

Memang dalam Natal tahun ini aku berusaha untuk “bersenang-senang”, akan tetapi… apa yang kudapat? Aku hanyalah semakin jengkel, karena seakan-akan dunia sudah tidak peduli lagi dengan Natal itu sendiri dan kulalui saja tanpa bisa berbuat apa-apa… hingga tibalah saat Natal itu… aku berusaha hanya memberikan yang terbaik buat Tuhanku di hari ulang tahunnya, yang hampir ke-dua abad-nya lagi! Setelah itu, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, yang kulakukan setelah Misa Malam Natal adalah mencoba BERSENANG-SENANG! Seakan-akan kegiatan ini sudah terukir dalam pikiranku dalam rangka merayakan Natal yang menurutku adalah saat bahagia dan Paskah adalah saat sedih (walaupun pernah juga setelah Misa Malam Paskah aku bersenang-senang). Akan tetapi apa yang kudapat? Hanyalah kekecewaan dan kejengkelan. Itulah yang kualami di hari Natal 1999. Hanya karena “perbedaan” prinsip, aku menjadi begitu marah dan marah! Tanpa sadar kulalui Ultah Yesusku dengan amarah yang meluap-luap. Itu saja? TIDAK!

Selain Natal, kita juga telah memasuki Tahun Yubileum Agung 2000, dan ternyata kulalui hari-hari terakhir di tahun 1999 dengan amarah-amarahku itu. Hingga tanpa sadar pula kulalui pesta Santo Pelindungku dengan marah berat! Aku begitu dendamnya pada seseorang, hanya karena suatu “masalah” yang sebenarnya sepele. Hingga akhirnya kumasuki tahun 2000 ini dengan perasaan yang begitu hampa dan tak berarti. Hatiku telah kosong dan hambar. Segala minatku untuk melayani dan mengikuti Tuhan hampir tidak ada lagi. Itulah kesuksesan buat setan! Dia memang telah menang atasku saat itu. Aku bahkan sudah tidak berdoa pada Tuhan di hari-hariku saat itu.

Hingga tibalah sebuah “peringatan” dari Tuhan yang bagaikan tamparan atas segala kesomboganku selama ini. Baru saja Tahun Baru berlalu, ternyata aku harus kehilangan sebuah “teman” yang setia mendampingi kemanapun aku pergi dan sudah laksana “kaki” bagiku. Aku begitu lemas saat itu dan hanya bisa berkata, “Ya Tuhanku… ampunilah aku.” Mulai saat itu, badai persoalan pun timbul akibat kejadian tersebut. Imanku betul-betul diuji dan dipertanyakan oleh orang-orang di sekelilingku, termasuk di rumahku sendiri! Karena peristiwa itu, aku hanya bisa berpasrah dan melalui bimbingan seorang romo, aku pun mulai bisa tersadar kembali untuk lebih mendekatkan diriku lagi pada Tuhan. Dalam perenunganku hingga saat ini, ternyata aku mendapati begitu banyak “borok” dalam hidupku selama ini yang tidak kusadari… aku telah memberikan makna yang keliru tentang Natal. Natal, ternyata mempunyai dua segi, yaitu bahagia dan sedih. Bahagia, karena Tuhan kita telah lahir dengan selamat di dunia dan mau melawat kita umat-Nya. Sedih, karena betapa “kotor”nya aku hingga Allah Bapa memutuskan perlu untuk mengutus Putra Terkasih-Nya sendiri untuk datang ke dunia dan menebus segala kekotoranku ini. Saat ini aku telah tersadar bahwa segala yang kulakukan adalah salah dan semua “perenungan” yang kulakukan selama ini atas semua problemku adalah bentuk dari “pelarian” dan itulah yang akhirnya membuat aku jatuh dalam “pelukan” iblis.

Pada Misa Hari Raya Pembaptisan Tuhan kemarin, aku merasa ditampar lagi dengan sebuah ayat dari bacaan pertama, yaitu dari Yesaya 55:8, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku.” Oh, Tuhan… betapa sombongnya aku selama ini yang selalu mengira bahwa dengan mengikuti Engkau, maka semua yang kulakukan dan kulalui adalah rancangan-Mu dan jalan-Mu. Itulah, tamparan demi tamparan “peringatan” dari Tuhan yang kudapatkan dan telah menyadarkan aku dari “perenungan”ku. Melalui bimbingan romo, aku diminta untuk berpasrah pada Tuhan dengan cara menerima dan menghadapi kenyataan ini. Aku percaya bahwa dengan bantuan Tuhan yang senantiasa menjagai aku dalam setiap langkahku dan selalu berusaha mengingatkan aku bila aku menjauh daripada-Nya dengan cara-Nya yang ajaib. Aku percaya dalam setiap kejadian yang kualami merupakan “batu loncatan” untuk menggapai rencana Tuhan yang indah pada waktunya (Pkh 3:11). Maka dari itu, dalam setiap doaku, aku hanya bisa berkata, “Tuhan, inilah diriku dengan segala kelemahanku, pakailah diriku, Tuhan, sesuai dengan rencana-Mu,” dengan begitu aku dapat menang atas iblis dalam nama Tuhanku, Yesus Kristus!

Amin!

Kamar tidur, 11/01/00, 00:59 WIB
JN. Rony
bejana yang rapuh

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:16 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.