07 Feb 2003 @ 4:45 PM 

Sudah 15 tahun lebih saya menempati rumah di kawasan timur Surabaya ini. Saya ingat persis saat pertama kali memasuki rumah ini, kiri dan kanan, muka dan belakang saya adalah sawah dan lahan siap bangun, hanya tetangga saya persis yang rumahnya sudah berdiri. Namun, karena mereka masih tinggal di rumah lama, maka praktis keluarga saya termasuk keluarga pertama yang tinggal di gang ini. Kawasan saya bertumbuh pesat dan lambat laun menjadi ramai, sampai saya sering kali agak “mangkel” kalo dibilang, “wah, orang kaya nich… tinggal di kawasan elit”. Saya pikir, kalo memang saya baru pindah 5 tahun terakhir, mungkin saya memang kaya… tapi lihat donk harga rumahnya saat 15 tahun lalu… sapa yang mau tinggal di sini? Sawah semua! Mall belum ada, bahkan tukang tambal ban pun belum ada. Gara-gara nekat tinggal di sini (tapi memang harus), sendirian di saat rumah-rumah yang lain belum jadi, rumah kami harus mengalami perampokan yang menghabiskan seluruh harta benda di rumah (sedih rasanya memikirkan hal itu). Memang saat itu di kampung belum terbentuk korps hansip seperti sekarang yang tambah hari para hansip itu tambah “metesek” (istilah suroboyo untuk menjengkelkan) dan minta para penghuni menghormati mereka, sesuai dengan moto mereka (yang ditempel di pos mereka): “Anda sopan, kami segan”. Saya pikir, sapa yang menggaji mereka? Bukannya mereka pegawai kita?

Tahun bertambah, pembangunan meningkat. Sekitar 1 kilometer dari komplek saya dibangun dengan megah Asrama Haji beserta Rumah Sakit Haji (yang dibantu pemerintah Arab Saudi) dengan peralatannya yang canggih (maklum, bantuan!). Tapi sayang… karena perlakuan penggunanya membuat Rumah Sakit ini tidak jadi RS taraf internetional, tapi tidak lebih dari Rumah Sakit Daerah yang parah dan gak layak rawat. Seiiring dengan perkembangan pula, maka Asrama Haji di tempat ini mulai dipakai untuk penampungan kloter-kloter Haji di sebagian Indonesia Timur. Dengan adanya para “tamu Allah” ini, suasana sekitar pun marak… penjaja makanan dan lainnya bertebaran di sana-sini… sungguh menguntungkan bagi orang yang tinggal di sekitar sana untuk membeli makanan yang sebelumnya agak susah. Praktis, Asrama Haji pun semakin ramai, selain dijadikan penampungan kloter, juga sering dipakai untuk penampungan atlet bila ada event olahraga atau bahkan tempat rapat partai tertentu. Pokoknya multifungsi dech! Saya sendiri sampai penasaran juga ingin tahu “jerohannya” Asrama Haji yang kabarnya bisa menampung ribuan orang itu. Yah, berkah pun bertebaran bila ada event-event membuat para pedagang pun ada yang “mematenkan” stand mereka di sepanjang jalan depan Asrama Haji. Beberapa warung telah saya coba dan sajiannya pun lumayan. Mereka pun rata-rata punya pelanggan dari rumah-rumah di sekitar sana.

Namun di samping berkah, ada juga yang bikin sebel bila musim haji tiba. Apa itu? Di antaranya adalah rombongan pengantar! Sampai saat ini yang paling dikeluhkan adalah rombongan pengantar yang bisa bermobil-mobil dan dengan seenaknya sendiri menempel tulisan rombongan calon jemaah haji daerah xxx, bikin jalanan macet! Padahal yang ngangkut CJH-nya sendiri saja sudah bis-bis besar, masih ditambah mobil kecil-kecil, banyak lagi. Saya pribadi heran, padahal si CJH kalo udah masuk ke Asrama Haji, praktis mereka dan pengantar udah gak bisa ketemu, kecuali by phone yang antrinya panjang banget. Ngapain juga pake diantar orang satu kampung? Itu mo ngantar atau mo jalan-jalan atau jeleknya mo pamer? Ok-lah jangan kita persoalkan masalah itu, toh itu urusan mereka mau mengantar sanak-saudara, teman, atau bahkan orang yang kebetulan satu kampung dengan si CJH; yang sangat disayangkan adalah… mereka dengan enaknya parkir di sepanjang jalan raya (karena di jalan depan Asrama Haji udah gak nampung) dengan radius 1 kilometer di seputaran Asrama Haji. Udah gitu, berhentinya di depan rumah-rumah orang lalu gelar tikar dan seperti sedang piknik. Makan-minum-tidur dan buang sampah sembarangan… mau dilarang, nanti bakalan ribut… gak dilarang, ntar yang ngerasain banjir khan yang punya rumah, bukan mereka!

Problem lainnya adalah corong speaker Asrama Haji yang tak kenal waktu dalam mengumumkan kedatangan, keberangkatan, atau panggilan. Keras sekali… dalam radius 1 kilometer bisa terdengar… bayangin dech… kamar saya yang nempel di pekarangan depan… phew… sepanjang hari harus mendengarkan “teng-tong-teng-teng! panggilan kepada xxx dari kloter yyy, ditunggu saudaranya di depan pagar”. Sapa yang gak sebel coba? Dan yang paling menjengkelkan adalah TELPON! Krang-kring-krang-kring, isinya: “Assalamualaikum… pak tolong dipanggilkan xxx” atau “Asrama Haji?” dan sebagainya dech… phew… pokok kalo musim haji, telpon rumah jadi posko haji juga dech! Sudah lapor Telkom bolak-balik, tapi tetep saja gak ngefek… ganti jalur di STO juga sama saja. Malah dulu lebih parah… rumah kami jadi 2 markas, kalo gak “Asrama Haji?” ya “Taxi Zebra?” Payah gak? Pernah malam-malam jam 2 dini hari, telpon bunyi terus… pas diangkat, lha kok… “Pesen taxi 1 unit…” Wah… mangkel dech… akhirnya ya kalo terus-terus bunyi, telpon kami cabut kalo malam… dan sialnya, pernah ada saudara yang calling dan gak bisa masuk, apalagi pas itu belum punya handphone.

Itulah susah yang dirasakan selama ini… mau protes, gimana ya… khan mereka juga mau menjalankan ibadah mereka… jadi lambat laun, udah kebal dech orang komplek di sini… mau diapakan lagi, ya nggak? Tapi, 2 hari ini mata saya jadi terbuka lagi… ternyata kesusahan yang didatengkan akibat musim haji ini lebih luas dari yang saya perkirakan… Berawal dari woro-woro dagangan saya ke milis, jualan VCD Maria Rembulan Kristus dan CD Alkitab Elektronik. Dari sekian puluh rekan-rekan yang memesan, ada juga rekan dari pulau paling “pucuk” (ujung) Indonesia… dari Papua (apa kabar Papua! :), yaitu 1 di Timika dan 1 di Biak. Sesuai prosedur, saya hanya baca pricelist kurir ke sana dan saya kabarkan pada mereka. Setelah disetujui, maka kiriman pun saya siapkan untuk dikirim. Yang pertama saya kirim adalah ke Timika. Waktu saya datang ke kurir dan bertanya, “kiriman ke Timika berapa lama mbak?” Maksud saya agar saya bisa mengabarkan pada pemesan range waktu pengiriman, agar bila terlambat/tidak sampai saya bisa klaim ke mereka. Tapi alangkah kagetnya saya begitu dijawab, “wah.. pak, lama sekali lho… kita gak berani terima.” Saya tanya, “Berapa lama?” Pikir saya paling 2 minggu… eh.. lha kok dijawab “MUNGKIN 1 bulan, itu saja gak pasti”. Dieng! Ada apa gerangan? Ternyata ini akibat musim haji… semua pesawat dipakai untuk ngangkut para “tamu Allah” dan calon “haji mabrur” itu dan praktis membuat semua kiriman mandeg total di terminal Makassar, karena akses ke Indonesia Timur harus lewat Makassar. Lalu saya coba kontak ke beberapa kurir besar, seperti TNT… mereka malah bilang, “kami tidak berani janji…” Aaaaa!!! Pagi ini saya coba lagi kontak ke Pandu Logistik, sebab menurut rekan di Timika, di sana ada perwakilannya… dan mereka juga bilang, “gak berani janji, kiriman ke Indonesia Timur sedang macet total.” Lalu saya kontak Tiki, hasilnya malah lebih tegas, “kiriman ke Indonesia Timur untuk sementara tidak diterima.”

Hmmm… kenapa ya… kok harus sampai mengorbankan banyak orang hanya demi menjalankan ibadah? Kalau lingkungan sekitar saja yang direpotin, saya bisa maklum… khan namanya juga tetangga. Tapi ini udah lingkup nasional… transportasi mandeg total… padahal Indonesia Timur khan juga INDONESIA! Kenapa harus sampai dikorbankan? Bagi saya sungguh menggelikan, di saat kita menjalankan ibadah untuk menjadi suci tapi tanpa disadari kita sudah membuat dosa kepada banyak orang… trus makna kesuciannya dimana? Hmmm… apa ini karena negara ini terlalu fanatik terhadap 1 agama? 1 pulau? 1 kota?

Tulisan ini saya buat atas dasar kekecewaan bertahun-tahun yang terpendam dan tidak menuntut untuk ditanggapi. Saya sadar inilah Indonesia, negara yang dicaci oleh warganya sendiri, tapi mau ditinggal juga berat… toh ini tanah kelahiranku…
Lebih jauh, kasus di atas bisa direfleksikan ke dalam kehidupan rohani kita… apakah dalam menjadikan diri kita suci itu kita TIDAK MENYAKITI orang lain? Sebab seringkali (dan bahkan sudah pernah mengalami sendiri) dalam aktif pelayanan, kita banyak membuat orang lain sedih/kecewa/marah akibat tindakan kita yang didasari dengan alasan “demi memuliakan/memperluas kerajaan Allah”.

Saya pikir, kerajaan Allah masih bisa diperluas tanpa menyusahkan orang lain, benar bukan?

JN. Rony
20030207
yang sedih gak bisa berbagi dengan rekan di timur sana…

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Intermezo


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.