21 Dec 2004 @ 11:16 AM 

Minggu malam kemarin adalah malam penentuan pemenang Penghuni Terakhir, yang hadiahnya berupa rumah senilai kurang lebih 1 Milyar. Di acara yang disebut sebagai Mega Realiti Drama ini para peserta dikumpulkan di rumah tersebut dan hidup bersama selama 100 hari. Acara ini mungkin boleh dikatakan sebagai “pengekor” dari acara yang melibatkan banyak peserta lainnya, yang mulai marak sejak digebernya acara AFI. Sejak itu memang banyak bermunculan acara serupa seperti Indonesian Idol, KDI, dan salah satunya Penghuni Terakhir (PeTir) ini. Aku pribadi tidak selalu mengikuti acara-acara ini karena memang kurang suka, dan aku melihat banyak di antara acara-acara itu terkesan “maksa” mempopulerkan para pesertanya. Namun, khusus untuk acara Rumah Petir ini aku melihat sebagai satu acara yang cukup unik.

Rumah Petir, begitulah istilah dari para peserta acara Penghuni Terakhir yang “dipaksa” hidup serumah tanpa akses ke dunia luar selama 100 hari. Para peserta dijaring dari berbagai kota dan kemudian dari sekian banyak peserta dipilihnya 14 orang penghuni yang saling bersaing untuk menjadi seorang Penghuni Terakhir di rumah mewah tersebut. Hari demi hari dilalui oleh para peserta dengan berbagai aturan yang ditetapkan, lalu pada minggu tertentu mulailah dilakukan “ekstradisi” yaitu pengurangan peserta. Dalam rumah inilah aku melihat banyak sisi kehidupan manusia yang bisa kita lihat dan kita renungkan. Seperti yang dituturkan oleh Mahdi, seorang finalis Petir pada saat detik-detik menjelang pengumuman pemenang, bahwa walaupun di layar televisi terkesan bahagia satu sama lain, namun di rumah itu bagaikan neraka. Well… memang demikian. Dengan sekian banyak peserta, mereka adalah manusia dengan latar belakang berbeda satu sama lain, berbeda adat, agama, keyakinan, motivasi, pola berpikir, cara berbicara, tingkah laku, dsb. Lalu masing-masing pribadi walaupun punya tujuan yang sama, yaitu memenangkan rumah 1 Milyar itu, tapi punya cara yang berbeda untuk mewujudkan tujuannya itu. Saat awal-awal para peserta berkumpul, terlihat jelas ada yang sabar, ada yang pemarah, ada yang lemah gemulai, ada yang supel, ada yang tegas, dsb. Itulah karakter pada penghuni dan selain itu juga bisa kita lihat berbagai cara mereka untuk memperoleh dukungan, mulai dari yang ingin membahagiakan keluarga, menyumbang orang tak mampu, membangun sistem keadilan, dsb. Semua janji-janji indah mereka ucapkan agar memperoleh simpati dari para pemirsa dan mendukung mereka lewat SMS.

Selama beberapa minggu terakhir aku mencoba merenungkan Rumah Petir ini ke dalam kehidupan nyata. Apa yang kita lihat dalam acara tersebut adalah pencerminan kehidupan nyata sehari-hari. Walaupun tanpa ada hadiah rumah mewah, namun dalam keseharian kita, entah di dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal kita, dalam kelompok atau organisasi yang kita ikuti, atau di tempat kerja kita; di sanalah terdapat Rumah Petir kita. Masing-masing dari kita mungkin bisa mewakili salah satu dari para peserta di acara itu. Entah seperti Mahdi, Ester, Indri, Alex, Yohan, Iksan, kang Asep, Juli, atau lainnya. Masing-masing punya problem dan karakter tersendiri dalam menjalani hidup dan motivasi yang berbeda dalam mencapai tujuan.

Bila kita mengikuti latar belakang dan cara para penghuni Rumah Petir dalam mewujudkan impiannya, kita akan melihat beragam motivasi dari masing-masing penghuni yang disertai dengan “janji manis” jika keluar sebagai pemenang. Sadar atau tidak, itu pulalah yang kita lakukan saat kita ingin mewujudkan tujuan kita dalam kehidupan sehari-hari, entah di dalam pekerjaan atau di masyarakat. Hati orang siapa yang tahu, begitu kata pepatah; berlaku juga bagi pertarungan menjadi seorang penghuni terakhir. Namun, lewat acara Rumah Petir inilah kita bisa mencoba merefleksi diri kita, karena di dalam acara ini kita akan bisa melihat sisi lain dari seorang manusia. Ambillah contoh kang Asep, yang terkenal dengan kekaleman sikapnya dan pembawaannya yang tenang dan penengah dalam situasi konflik, pun dapat “marah” dan terbawa emosi yang “tak pantas”; terutama saat Ester ter-ekstradisi oleh Mahdi dan saat kang Asep tidak diselamatkan oleh Indri yang kemudian di-ekstradisi oleh Alex. Lalu bagaimana seorang Juli, yang dengan tingkahnya yang “agak kewanitaan” dan sering dipandang sebelah mata, bisa mempunyai dewi fortuna yang begitu besar, terbukti dia sudah ter-ekstradisi pada pertengahan acara, namun serasa mendapat “durian runtuh” saat mendapatkan amnesti dan bisa kembali bermain di rumah petir bahkan bisa bertahan hingga masuk ke posisi finalis 3 besar; padahal Juli adalah peserta yang hampir selalu mendapatkan polling SMS paling rendah, lebih sering kalah dalam game daripada menang, tidak pernah jadi bos, dan tidak pernah jadi pemegang kunci. Lalu, kita lihat Indri, satu-satunya peserta wanita yang bisa bertahan hingga 4 posisi besar, bersaing dengan ketat melawan dominasi pria, walaupun sayangnya harus ter-ekstradisi menjelang 3 besar. Masih banyak lagi profil-profil unik yang bisa kita lihat dan tanpa kita sadari… diri kitalah yang terpampang pada layar kaca itu.

Dalam keseharian, orang sering menilai kita dari sikap kita. Tak jarang orang lain pun ingin diri kita bertindak seperti yang diinginkannya. Hal ini tercermin pada permainan Rumah Petir, dengan adanya kubu-kubu dari peserta yang punya kans besar untuk menang. Para peserta kuat saling melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan dukungan dari para peserta yang “no hope” atau miskin dukungan sms dan jarang menang dalam game. Saat malam ekstradisi, biasanya peserta yang duduk di 3 bangku posisi terendah akan berusaha mengingatkan “hutang budi” yang dimiliki oleh pemegang kunci agar bisa diselamatkan dan yang dimiliki oleh bos agar tidak di-ekstradisi. Kadang ekspresi kekecewaan pun tak bisa dibendung saat seorang peserta harus keluar dari permainan, apalagi saat dia merasa “dikhianati” oleh temannya. Mungkin dalam pekerjaan pun kita akan mengalami hal demikian, bisa jadi kita marah dan kecewa saat seorang rekan kerja yang selama ini dekat, tiba-tiba berbalik melawan kita. Atau mungkin dalam kehidupan bersosialisasi, kita pun sering marah dan kecewa saat seorang teman tiba-tiba bertindak tidak sesuai yang kita harapkan. Bahkan ada satu pendapat dari seorang peserta yang diliputi rasa frustrasi: “tidak tahu lagi siapa kawan, siapa lawan”.

Drama kehidupan dalam permainan Rumah Petir mungkin sudah berakhir (dan rencananya akan dilanjutkan dengan Rumah Petir 2), namun kita dapat mengambil hikmah dari kehidupan bersama yang dijalani oleh para peserta. Dalam drama kehidupan dalam permainan ini kita pun bisa melihat sisi positif dari peserta, bagaimana sikap mereka bisa berubah (dibandingkan saat pertama kali menginjak Rumah Petir), bagaimana sisi persahabatan antar penghuni, bagaimana cara menghadapi suatu masalah, bagaimana cara bertanding dalam game. Siapapun yang akhirnya menang, tentunya punya “beban” membayar “hutang janji”-nya pada keluarga, teman, bahkan masyarakat yang sudah mendukung dia. Jangan seperti yang ditanyakan oleh seorang juri (yang juga psikolog), “apakah kamu seperti orang yang akan terjun payung; saat mau terjun berdoa: Tuhan kalo saya selamat sampai di bawah saya akan potong sapi; saat payung sudah terbuka, doanya diganti: potong kambing; dan saat sudah mendarat: potong ayam dech”. Inilah fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin diri kita pun sering melakukannya! Kita sering berjanji ini-itu saat kita dihadapkan pada seuntai “benang kusut”, namun saat benang berangsur terurai, janji pun dikoreksi.

Tak terasa Natal dan Tahun Baru akan tiba dalam hitungan hari. Sebagai seorang Katolik, aku pribadi punya “hutang janji” pada Tuhan yang sudah rela turun ke dunia dan mau hidup seperti manusia. Sebagai seorang pribadi, aku pun punya kewajiban dalam menyambut Tahun Baru. Tahun 2004 akan segera berakhir dan di tahun inilah aku akan meninggalkan jejak-jejak langkah kaki yang sudah kutempuh selama 1 tahun. Berbagai peristiwa dan kenangan sudah kualami, baik itu berupa kenangan pahit atau prestasi yang menggembirakan. Dalam tahun 2004 ini pula banyak hal tak terduga telah terjadi dalam hidupku; dimana aku melakukan banyak sekali “hal gila” yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk kulakukan, namun juga aku pun banyak tidak melakukan hal yang seharusnya kulakukan.

Yang pasti… Rumah Petir memberiku 3 inspirasi dan semangat, dimana kita dituntut untuk bermain “segila” mungkin dalam setiap “game of life”. Tidak perlu memusingkan akan menang atau kalah, namun persembahkanlah permainan yang cantik dan yang terbaik dari yang kita punya. Yang kedua adalah bertindaklah seperti diri sendiri, jangan menggunakan topeng. Menjadi diri sendiri akan lebih berharga, sekalipun konsekuensinya adalah dibenci orang lain karena dianggap tidak sejalan. Dan yang terpenting adalah menyerahkan semua proses dan hasilnya pada penyelengaraan Ilahi, karena tanpa berkat dan rahmat Allah, sekeras apapun perjuangan kita tidaklah berhasil.

Pagi ini aku mendapat hadiah ulang tahun yang telat dari seorang teman di Surabaya berupa pohon natal mini yang bertaburkan salju. Aku memang telah lama mengidamkan memiliki sebuah pohon Natal, namun tak pernah kesampaian. Pohon Natal mini ini, walaupun sederhana, namun sangat memberikan kesejukan padaku saat memandangnya. Memang Natal tahun ini agak berbeda bagiku, dimana aku akan merayakannya jauh dari kampung halaman. Aku akan merayakan Natal di tempat lebih sunyi, lebih sepi, dimana aku tidak mengenal banyak orang. Namun, sekali lagi aku percaya bahwa Tuhan punya jalan untukku. Tuhan telah menyiapkan sebuah Rumah Petir untukku di tempat ini. Di kota inilah aku diuji kemampuan, ketahanan, dan keuletanku untuk menjadi seorang pemenang.

Natal semakin dekat… akan kujalani dalam Rumah Petir-ku diiringi dengan lagu Christmas Auld Lang Syne-nya Marc Anthonty:

When mistletoe and tinsel glow
Paint a yuletide valentine
Back home I go to those I know
For a Christmas Auld Lang Syne

And as we gather ’round the tree
Our voices all combine
In sweet accord, to thank the Lord
For a Christmas Auld Lang Syne

When sleigh bells ring, and choirs sing
And the children’s faces shine
With each new toy, we share their joy
With a Christmas Auld Lang Syne

We sing his praises, day of days
And pray next year this time
We’ll all be here, to share the cheer
Of a Christmas Auld Lang Syne

In sweet accord, to thank the Lord
For a Christmas Auld Lang Syne

Merry Christmas Everybody!

JN. Rony
20041221

thx to Aunty Gone for the xmas tree!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalink
Tags
Categories: Renungan


 

Responses to this post » (None)

 
Post a Comment

You must be logged in to post a comment.

Tags
Comment Meta:
RSS Feed for comments

 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.